Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Gambar Diri Yang Merusak - Bundo Milanisto

Sumber gambar : https://pixabay.com/illustrations/caricature-painting-fantasy-5280770/Gambar Diri yang Merusak

Oleh: Bundo Milanisto


Aku menaiki sebuah timbangan yang biasa kuletakkan di pojok rumah. Pada timbangan digital itu terlihat angka 37; sebuah angka yang seharusnya membuatku panik karena sudah terlampau kurus dengan tinggi badanku yang mencapai 168 sentimeter. Namun, bukannya panik karena merasa sangat kurus, aku justru panik karena masih merasa terlalu gemuk. 


Ah, aku tahu ada yang salah dalam diri ini. Akan tetapi, aku tetap tidak bisa melepaskannya begitu saja. Andai saja saat itu tidak pernah terjadi … mungkin aku tidak akan terjebak dalam dunia yang mengerikan ini. 


Semua bermula sekitar lima tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMA. Tubuhku cukup gemuk. Berat badanku bahkan mencapai 80 kilogram. Wajah? Jangan ditanya! Wajah ini dipenuhi jerawat-jerawat kecil, leherku seperti tak terlihat karena penuh dengan lemak, napasku bahkan tersengal-sengal ketika harus berlari memutari lapangan. 


Atas kondisi yang seperti itu, aku hanya bisa menerima tatkala teman-teman mengejekku dengan sebutan kuda nil. Ya, sesungguhnya itu sangat menyakitkan hati. Namun, apa boleh buat. Ketika aku menatap cermin, rasanya memang seperti seekor kuda nil buruk rupa yang mengerikan. Bahkan, aku yakin bahwa tak ada satu pun pria yang dapat menerima kondisiku saat itu. 


Ejekan yang bertahun-tahun aku terima sepertinya membuat gambar diriku rusak. Tidak, sebenarnya … bukan karena ejekan itu saja, tetapi juga karena trauma di masa kecil yang aku rasa belum selesai. Dulu, ketika usiaku baru sepuluh tahun, Ibu sangat terobsesi menjadi seorang model, tetapi obsesinya takbisa menjadi kenyataan karena kami hidup dalam keterbatasan materi akibat Ayah yang suka berjudi. 

Baca Juga : [Cerpen] Yang Pernah Hilang - Uli Nasif


Meski begitu, Ibu tak menyerah. Dia berupaya menjadikanku seorang model cilik. Berbagai upaya dilakukannya. Bahkan, meski harus berutang, asal aku bisa punya nama, dia akan melakukannya. Lomba-lomba peragaan busana sebisa mungkin harus kuikuti supaya aku … atau mungkin dirinya, mendapat pengakuan. Akan tetapi, bukannya bahagia, aku malah sangat tertekan. 


Aku terus menangis dan mengeluh sehingga membuat Ibu sangat marah. Dia melontarkan kata-kata yang tidak pantas dan manipulatif hingga membuatku merasa sangat bersalah. Kondisi ini makin diperparah dengan Ayah yang juga menginginkanku memiliki tubuh sempurna. Kata Ayah, aku cantik jika kurus seperti Ibu. 


Kepalaku terus menerus terasa berat. Berulangkali aku mencoba menghilangkan nyawa sampai pada suatu saat aku memilih untuk membalas dendam dengan cara yang lain. Aku memberontak. Berbagai macam makanan kunikmati tanpa memedulikan berat badan. Semua itu kulakukan atas nama dendam dan yaaah, pada akhirnya … aku menjadi bahan olok-olok.


Itulah sebabnya, sejak lulus SMA, aku bertekad untuk kembali menjadi kurus dan membuktikan kepada mereka bahwa aku bisa seperti supermodel profesional. Jadi, kubeli beberapa tabloid atau majalah yang memajang foto-foto supermodel itu. 


Mereka sangat cantik. Perutnya kecil, leher dan kaki mereka jenjang, hidung mancung, wajah tirus. That’s a perfect life. Aku benar-benar sangat ingin seperti mereka. Jadi, kuputuskan untuk mulai berolahraga dan diet. 

Baca Juga : [Cerpen] Jalan Memaafkan - Agus Mustain


Aku mulai mendaftar kelas gym. Selama satu jam setiap harinya, aku bergerak untuk melemaskan otot-otot tubuh dan melunturkan lemak. Itu berhasil! Selama dua bulan aku melakukan itu, berat badanku yang semula 80 kilogram turun sepuluh kilo menjadi 70 kilogram! 


Meski begitu, aku rasa … itu belum mencukupi berat badan ideal. Untuk tinggi badan sepertiku, seharusnya berat badanku sekitar 58 hingga 60 kilogram. Jadi, aku mulai mengurangi kalori dalam tubuh dan menambah jam olahraga. Dengan perlahan, aku mulai menjauhi karbohidrat, tetapi masih menjaganya dengan memenuhi asupan protein. 


Tak hanya itu, sebelum senam, terlebih dahulu aku berlari sepanjang dua kilometer setiap harinya. Lagi-lagi berhasil! Setelah dua bulan melakukan itu, berat badanku kembali turun sepuluh kilo.


Aku mulai mendaftarkan diri menjadi model di sebuah agensi. Di sana aku bertemu dengan perempuan-perempuan bertubuh tinggi semampai yang selama ini hanya bisa kulihat dari majalah. Tak hanya bertemu dengan mereka. Setelah menjalani hari-hari sebagai seorang model, aku jatuh cinta dengan seorang laki-laki bernama Ken. 


Ken juga seorang model. Wajahnya rupawan, rahangnya dipenuhi dengan cambang, rambutnya selalu rapi, hidungnya mancung, dan matanya lebar. Ken adalah pria pertama yang mengatakan bahwa aku cantik. Itu membuatku merasa terbang hingga ke langit ketujuh. Ken tidak seperti Ayah yang terus menerus mengejekku dan membandingkan aku dengan perempuan-perempuan lain. Ken berbeda. 

Baca Juga : [Cerpen] Setumpuk Rasa - Yuliana Fajriyah


Ah, sial! Kalau ingat bagaimana Ayah memperlakukanku dibandingkan dengan kedua saudara perempuanku yang lain, ingin rasanya aku membunuhnya dan membungkam mulutnya dengan lakban. Demikian juga dengan Ibu. Kalau saja waktu itu Ibu tak cepat mati, mungkin aku juga akan membungkam mulutnya yang penuh caci maki itu dengan lakban. Namun, sudahlah! Yang penting aku sudah pergi jauh dari kehidupan mereka dan Ibu juga sudah mati. 


Kembali pada Ken. Malam itu, pada bulan Januari tahun 2022, aku berencana akan mengungkapkan perasaanku pada Ken. Jadi, setelah peragaan busana, aku berjalan penuh percaya diri ke ruang make up Ken. Namun, aku terkejut ketika mendapati dia tengah bercumbu dengan salah satu model bernama Shita, seorang model asal India yang menurutku sangat cantik. Tubuhnya tinggi, kurus, dan wajahnya tirus. 


Kejadian itu sangat menyesakkan dada. Aku cepat-cepat masuk ke ruang make up dan berkaca. Ah, benar! Rupanya ini. Ini yang membuat Ken tidak mencintaiku; tubuhku yang masih terlihat gemuk. Seharusnya aku memang harus menurunkan berat badanku beberapa kilogram lagi.


Sejak saat itu, hidupku berubah. Aku mulai terobsesi dengan tubuh kurus. Berjam-jam kuhabiskan untuk berolahraga. Namun, aku tidak lagi mengkonsumsi vitamin, serta makanan yang mengandung protein. Aku lebih memilih makan sayuran hijau yang kurebus begitu saja, tanpa garam, tanpa telur, tanpa minyak, tanpa penyedap makanan, dan tanpa apa pun. Awalnya mulutku tidak bisa menerima itu. Akan tetapi, karena keinginan kuat untuk memiliki tubuh kurus, aku memaksakan diri hingga terbiasa. 


Terkadang perutku terasa sangat lapar. Aku ingin sekali menikmati banyak makanan seperti dahulu. Namun, ketika melihat makanan itu, tiba-tiba aku merasa mual. Ada ketakutan-ketakutan yang menghantui pikiranku. 

Baca Juga : [Cerpen] Cinta Ayra (Yantea Suzan)


Bagaimana jika aku jadi gemuk? Bagaimana jika makanan ini membuatku seperti dulu yang mirip kuda nil? Bagaimana jika aku jadi bahan ejekan lagi? Bagaimana … bagaimana … bagaimana?


Terus saja pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari di kepala. Makin lama, aku merasa ada yang salah dalam tubuh ini. Kepalaku sering pusing, perutku sering mual, aku lebih sering kedinginan, bahkan menatap matahari pun aku tak mampu. Terkadang kondisi ini diperparah dengan otot-otot tubuh yang melemah, bahkan sampai tidak bisa bangun.


Atas alasan itu, aku mencari-cari informasi tentang seorang dokter yang bisa merawatku. Rupanya, semesta mempertemukanku dengan Ben, seorang laki-laki di masa lalu—masa SMA—yang selalu membelaku tatkala aku dirundung. 


“Kamu Cathlyn? Benar Cathlyn?” tanyanya ketika pertama kali aku datang ke tempat praktiknya. Sepertinya dia agak terkejut.


“Ya. Kamu benar Ben?”


“Ya. Tapi, kenapa tubuhmu begitu kurus? Kau sangat jauh berbeda, Cath.”


“Ini kurus? Apa ini kurus?” tanyaku. Aku tidak yakin bahwa aku sudah kurus. 


“Tentu saja. Ada keluhan apa?” tanyanya. 


“Entahlah. Aku seperti kehilangan nafsu makan, sering pusing, sering merasa mual, dan sering sakit perut.”


“Biar aku periksa.”


Ben mulai memeriksa denyut nadi, tekanan darah, serta menempelkan stetoskop pada dadaku. Tak lama, dia mengecek perutku. Rasanya nyeri sekali ketika dia menekan perut ini. Aku bahkan berteriak karena itu sangat mengganggu.

Baca Juga : [Cerpen] Membias Samar - Daypen


Setelah pemeriksaan itu, kami duduk berhadapan. Sorot matanya tajam. Ada raut wajah penuh kesedihan dari rona mukanya. 


“Cath, aku menyarankan kau mendatangi seorang psikiater. Yang perlu diobati sebenarnya bukan hanya fisikmu saja, tetapi juga mentalmu.”


“Hei, aku baik-baik saja, Ben. Aku hanya suka melihat tubuhku tidak terlalu gemuk. Aku tidak suka gemuk. Asal kau tahu saja, bukankah dengan tubuh kurus, justru membuat wajahku terlihat lebih cantik?”


Ben mengembuskan napasnya dengan kasar. “Cath, jika kau lanjutkan ini, kau bisa mati sia-sia. Kau kekurangan gizi. Aku rasa kau terkena anoreksia.”


“Anoreksia? Maksudmu … gangguan makan?”


“Ya. Apakah ini akibat teman-teman yang dulu merundungmu dan mengataimu yang tidak-tidak?”


“Entahlah. Tapi, aku benar-benar merasa tubuhku masih sangat gemuk. Seharusnya aku masih bisa menurunkan berat badanku lagi.”


“Oh, ayolah! Coba naiklah kau ke timbangan itu. Kita akan cek berapa berat badanmu.”


Aku menurut. Di timbangan itu ada angka 35 yang terpampang jelas. Ah, rupanya sudah turun dua kilogram dari dua minggu yang lalu. 


“Berapa tinggimu?” tanya Ben.


“Sepertinya 168.”


“Idealnya berat badanmu 58-60 kilogram. Tapi, ini 35 kilogram. Tolong, Cath, sembuhlah!”


“Sembuh dari apa? Aku tidak sakit apa pun!”


“Kau datang ke sini karena merasa tidak baik-baik saja, bukan?”

Baca Juga : [Cerpen] Tragedi Cinta di Bumi Prambanan - Yohana Resti Wilistya


Aku terdiam. Perkataannya benar. Jika aku baik-baik saja, aku tidak akan datang menemuinya. 


“Cath, aku akan mengantarkanmu ke psikiater sebelum semuanya terlambat.”


Ben menggenggam tanganku. Itu sedikit membuatku terkejut. Ada perasaan yang berbeda ketika merasakan genggaman tangannya. Itu seperti … sebuah kekuatan yang terbangun begitu saja di dalam diri. 


“Kau harus sembuh, Cath.”


Aku terpana, membisu, dan takbisa berkata-kata.

Baca Juga : [Cerpen] Semai - Enzelina

**

Sebuah makhluk yang seluruh tubuhnya berwarna hitam, bertubuh besar, dan memiliki tinggi sekitar enam kaki, tiba-tiba datang di hadapanku. Ada asap-asap yang keluar dari tubuhnya. Mulutnya dipenuhi kata-kata kotor dan ajakan-ajakan untuk mati. Aku ketakutan. Sungguh ketakutan. 


Makhluk itu terus berusaha menggapai tubuhku. Namun, aku berlari. Makin lama langkah ini makin cepat. Aku bahagia ketika kulihat di depanku sudah ada Ben. Lamat-lamat kudengar suaranya, dia seperti memberiku semangat.


“Cath, kau pasti bisa! Kau pasti bisa melalui ini, Cath!”


Berulangkali kudengar itu dari mulutnya. Namun, langkahku tak kunjung sampai di hadapannya. Sementara makhluk mengerikan itu masih terus mengejar. Aku menoleh ke belakang. Lambat laun, makhluk bertubuh hitam itu berubah menjadi sesosok wanita bertubuh kurus, berambut blonde, dan berbibir merah. 


Aku menghentikan langkah, lalu berbalik badan. Sejurus kemudian, kupandang lekat-lekat makhluk yang telah berubah bentuk itu. 


“Ibu …,” sapaku.


“Hei, Cath, kemarilah. Ibu sangat merindukanmu.”

Baca Juga : [Cerpen] Senyuman Terakhir - Alifiyani


Aku tersenyum. Dengan perlahan, aku berjalan ke arah Ibu. Meski Ibu pernah menyakiti hati, tetapi aku merindukannya. Aku terus berjalan. Tak berapa lama, aku sudah berdiri berhadap-hadapan dengannya. Ah, meski pipinya menjadi sangat tirus, tubuhnya tinggal tulang belulang, dan matanya sudah sangat cekung, tetapi kecantikan Ibu seolah-olah tidak pudar.


“Cath, kau rindu pada Ibu, kan?”


“Ya, Ibu. Aku sangat rindu kepadamu.”


“Ikutlah Ibu, Nak. Kita akan bahagia bersama.”


Baru saja aku mengulurkan tangan, lamat-lamat kudengar lagi suara Ben. 


“Cath, bertahanlah! Bertahanlah! Tolong, hiduplah, Cath! Kau tidak boleh mati sekarang!”


Kini aku dihadapkan pada kegalauan. Di satu sisi, aku ingin ikut Ibu, tetapi di sisi yang lain, aku juga ingin ikut Ben. 


“Aku mohon, kembalilah ke dunia, Cath!”


Ibu tersenyum. Dia menyuruhku untuk kembali ke dunia sebab belum waktunya aku pulang. Setelah mengatakan itu, perlahan Ibu menjadi asap dan lama-lama menghilang.


“Cath, ah, Cath … aku tahu kau akan bisa melalui ini.”


Aku masih mendengar suara itu. Perlahan, aku merasakan bahwa jari ini bergerak-gerak. Lama-lama, aku mulai bisa membuka mata. Sebuah cahaya sedikit membuatku terganggu. Mungkin itu cahaya lampu. Kulihat sekitar. Ada selang infus yang terpasang di tangan, di depanku ada Ben yang agaknya sangat sibuk, sementara itu seorang dokter dan dua perawat melakukan sesuatu kepadaku. Sejurus kemudian, aku dapat merasakan tubuhku, mendengar suara-suara di sekitarku, dan melihat segalanya. Jadi, beginilah rasanya ketika kau hampir mati. Ibu, maafkan aku karena tak ingin lagi mengikuti jejakmu untuk menjadi kurus.

Rekomendasi Buku Kumpulan Cerpen Terbitan Penadiksi : 

Baca Cerita Pendek (Cerpen) Lainnya di Penadiksi KLIK DISINI!
Diberdayakan oleh Blogger.
close