Oleh : Uli Nasifa
YANG PERNAH HILANG
Hari berlalu terasa begitu cepat. Serasa baru kemarin dia menyatakan cintanya pada ku, kemudian dia memilih mengakhiri.
"Agama kita melarang ini Aleya, kita tidak boleh berpacaran." Katamu malam itu. Duduk diatas cap mobil sambil menyeruput segelas kopi hitam dengan cup kertas.
"Aku menunggumu sampai kamu mau memeperbaiki diri, aku ingin kita ke syurga nya Allah sama-sama." Matanya berkaca-kaca. Tetapi aku tidak memperdulikan itu.
Aku masih terdiam, dengan setumpuk pertanyaan. Mengapa Andri semudah itu memutuskan untuk berhijrah. Sedangkan aku belum siap dengan semuanya. Berhijab belum pernah terfikirkan oleh ku sebelumnya.
Baca Juga : (Cerpen) Pamali Jangan Tidur Waktu Asar - Pena Malam
*
Rumah Sakit Umum Citra Medika. Tempat ku bekerja sebagai apoteker dan Andri Wigunawan sebagai pendamping apoteker nya. Waktu demi waktu aku masih terdiam. Masih tidak mengerti dengan keputusan Andri dan apa yang harus aku perbuat setelah ini. Mengikuti apa yang Andri inginkan, kemudian kita bersama selamanya atau meninggalkan kita dan mencari penggantinya.
Dua bulan kemudian. Andri dipindah tugaskan ke Rumah Sakit cabang kota Surabaya. Jaraknya lumayan jauh bisa sampai berjam-jam jika menggunakan jalur darat. Semenjak saat itu, kita mulai kehilangan kontak. Perhatiannya, senyum manis yang selalu terulas di bibir, suara sepatu yang berisik, tawa sapanya, wangi parfum khas dirinya dan stiky note dengan gambar tersenyum sudah tak pernah tertempel lagi di layar komputer.
Benar-benar kehilangan dia. Beberapa kali mencoba mencari tahu tentang lelaki bermata sipit itu, tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Aku buka aplikasi berwarna hijau ingin sekedar berbincang atau menanyakan kabar. Tetapi nomornya sudah tidak aktif lagi. Akun sosial media milik Andri pun tidak ada postingan terbaru.
Baca Juga : (Cerpe) Setengah Jiwaku Pergi - Fathul Mubin
*
Berjalan menyusuri tiap lorong rumah sakit menuju kantin, sudah jamnya untuk makan siang. Dan memang sudah lapar. Namun saat ditengah perjalanan, ku dapati pasien anak sekitar umur enam tahun yang sedang bermain di tepian taman rumah sakit ditemani oleh ibunya. Tangannya terpasang infus, serta hidungnya terpasang selang oksigen tetapi tangan kanan dia dengan teguh memegang Al-Qur'an.
"Umi... Hana ingin terus melanjutkan hafalan, hingga Hana tamat 30 Juz, Hana ingin memberikan mahkota cahaya untuk Umi dan Abi kelak." Dengan mata sayu dan wajah yang begitu pucat dia masih bersemangat menghafal Al-Qur'an.
Ibunya hanya tersenyum, bulir bening mulai menetes dari kelopak mata. Mengusapnya segera agar tak telihat oleh gadis kecil itu.
Seketika langkah ku langsung terhenti. Menghampiri mereka dan menatap wajah anak itu begitu dekat.
"Hallo dek?"
"Bagaiamana hafalan hari ini?" Mendekat ke arah bednya. Mengusap pipi mungil yang mulai membasah.
"Ehh Kakak cantik." Dia tersenyum kaget melihat ku yang tiba-tiba mendekat.
"Ngga usah takut, panggil kakak Aleya." Mengulurkan tangan menyalami anak kecil itu dan Ibu nya.
Sangat kagum dengan semangat Hana, meskipun raganya sakit tetapi tetap istiqamah menghafal. Kesabaran Uminya merawat serta mendampingi Hana. Dari sini aku mulai tertarik belajar banyak hal tentang Islam. Lebih dalam tepatnya. Mulai dari berhijab, membaca Al-Qur'an hingga hukum-hukum islam yang lainnya. Aku tinggal bersama mereka di pesantren. Paginya bekerja di Rumah Sakit kemudian mengajar anak-anak mengaji sore hari.
Kegiatan penuh setiap harinya. Kesibukan yang aku sengaja ciptakan sendiri supaya bisa mengusir rasa untuk terus memikirkan Andri. Dan benar-benar lupa akan sosok dia. Tak pernah lagi mencari tahu kabarnya, membuka akun sosial medianya dengan alih-alih iseng. Benar-benar sudah tidak pernah aku lakukan. Hari demi hari di hibur dengan pasien dan anak-anak mengaji.
Baca Juga : (Cerpen) Pamali Jangan Keluar Waktu Maghrib - Pena Malam
*
Lima tahun setelah aku tinggal di pesantren, Umi memberitahukan bahwa ada seorang ikhwan yang sudah siap menikah dan mengajak sesiapa yang berniat berta'aruf dengannya. Untuk itu Umi memilih ku sebagai calonnya.
Hari pertama Umi membawakan amplop merah jambu berbentuk hati.
"Tukar biodata Aleya, punya mu sudah Umi sampaikan pada beliau." Umi menghapiri diriku yang sedang duduk di teras Musholla usai mengajar anak-anak.
Saat membaca selembar kertas merah jambu bertuliskan nama Andri Wigunawan, lahir Bandung, 11 Maret 1995. Hampir pingsan, dadaku berdebar kencang, kedua mata mulai menghangat. Benarkah ini kamu Ndri. Tak terasa bulir-bulir hangat itu membasahi pipiku, membaca baris demi baris. Membuka lembar selanjutnya dan mastikan ini Andri. Aku menatap wajah Umi penuh harap.
"Andri Wigunawan seorang Apoteker di Rumah Sakit Citra Medika Surabaya Umi?"
"Iya, betul Aleya. Dia sudah tau kamu tinggal disini bersama kami, makanya Umi memilih mu." Umi mengusap lembut kepalaku.
"Ummmmiii." Memeluk tubuh Umi, membenamkan kepalaku di dadanya. Tak terasa netra ini semakin basah.
Tahap demi tahap proses ta'aruf kita lalui dengan mudah. Sampai dimana hari akad pun tiba. Tak bisa tergambar bagaiamana bahagia nya diri ini. Seseorang yang dulu datang kemudian menghilang hari ini datang kembali dengan ridlo-Nya.
Baca Juga : (Cerpen) Cincin yang Berbicara - Lalitya Nandini
"Sudah siap berlayar bersama ku di samuderanya Allah tuan putri?" Andri berjalan mendekat. Begitu pun aku.
"Ya, atas ridlo-Nya aku siap." Aku mencium punggung tangannya, seketika ia pun merapalkan doa.
Yakinlah hati, bahwa Allah akan mempertemukan kita bersama orang yang tepat di waktu yang tepat. Dan Memberikan yang baik di waktu yang baik.
End.
Brebes, 03 April 2024.
Rekomendasi Buku Kumpulan Cerpen Terbitan Penadiksi :