Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

Perkembangan Filologi dan Naskah di Nusantara

Sumber foto : Pixabay
Perkembangan tulis menulis naskah di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke – 7 M. Dimana saat itu, tradisi tulis menulis naskah di Indonesia banyak dipengaruhi oleh agama budhha dan bahasa sanskerta dari kebudayaan India. Hingga abad ke – 10 M, pengaruh agama budhha termasuk Hindhu masih sangat kuat mewarnai tradisi tulis menulis naskah di Indonesia ini. Naskah – naskah yang dihasilkan dari tradisi tulis menulis pada kurun waktu tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan dan Sanskerta. Yang terus berlanjut hingga abad ke – 15 M.

Pada abad ke – 13 M, pengaruh agama islam dalam tradisi tulis menulis naskah di Indonesia mulai menyebar dan menguat. Pada abad ke – 14 M, aksara Jawi (aksara arab berbahasa Melayu) sebagai aksara dalam penulisan naskah Melayu mulai mendominasi. Pada kurun waktu itu juga, bahasa Melayu telah banyak digunakan sebagai bahasa politik, perdagangan, keagamaan dan kebudayaan. Contoh naskah yang diduga berasal dari abad ke – 14 M adalah naskah “Undang – Undang Tanjung Tanah” yang ditemukan di Kerinci. Naskah tersebut ditulis dalam bahasa sanskerta, menggunakan aksara pasca-Pallawa. Setelah diteliti dan diuji menggunakan uji radiocarbon diperkirakan naskah tersebut dibuat pada abad ke – 14 M.

Pada akhir abad ke – 17 M, kegiatan inventarisasi naskah di Indonesia mulai dilakukan. Namun, kegiatan tersebut dilakukan oleh sarjana – sarjana eropa, khususnya sarjana Belanda dan Inggris. Inventarisasi naskah diartikan sebagai upaya secermat – cermatnya dan semaksimal mungkin untuk menelusuri dan mencatat keberadaan naskah yang memuat salinan dari teks yang akan dikaji.[1] Namun, pada kurun waktu tersebut penulis tidak menemukan catatan yang menginformasikan adanya keterlibatan sarjana pribumi Indonesia dalam proses kegiatan inventarisasi naskah. Hingga pertengahan abad ke – 19 M, para ahli filolog yang berasal dari eropa mulai berupaya untuk menyunting dan menganalisis naskah – naskah yang ditemukan di Indonesia. Beberapa contoh hasil telaah filologis yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut adalah, Arjoena - Wiwaha dan Bomakarya oleh Th. A. Friederich (1850), dan Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900).

Pada abad ke – 20 M, barulah muncul sarjana pribumi yang tertarik lebih dalam untuk mengkaji naskah di Indonesia. Yang pertama kali menunjukkan karyanya adalah Hoesein Djajadiningrat dengan karya berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten pada tahun 1913. Selain itu ada sarjana pribumi lain bernama Poerbatjaraka dengan karyanya yang berjudul Arjuna – Wiwaha pada tahun 1926. Namun, kemunculan dua sarjana tersebut tidak diikuti jejak langkahnya oleh pribumi lain pada periode selanjutnya. Achadiati Ikram bahkan menyebutkan bahwa periode selanjutnya yaitu sekitar tahun 1959 – 1965 merupakan periode kemandekan dalam ilmu pengetahuan budaya.[2] Hingga akhirnya, pada tahun 1965, gairah sarjana pribumi untuk mengkaji naskah mulai bangkit kembali. Hal tersebut terjadi ketika mulai banyaknya terjalin kerja sama penelitian antara perguruan tinggi Indonesia dengan institusi di luar negeri.

Pada tahun – tahun berikutnya, kerja sama dengan institusi luar negeri semakin banyak dan mempengaruhi jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian filologi. Jika tahun sebelumnya, penelitian pada naskah hanya difokuskan pada suntingan teks, sejarah, terjemah dan pengungkapan bahasa atau ajaran yang terkandung dalam naskah saja. Maka, hubungan dan kerja sama dengan institusi - institusi luar negeri ini mengenalkan warna pendekatan lain, yaitu pendekatan dengan berbagai teori sastra. Dengan begitu, setelah dikenalnya berbagai teori sastra, para filolog selain masih tetap melakukan suntingan teks, mereka mendapat piranti baru untuk mencari makna teks melalui suatu telaah struktur karya.[3]

Baca Juga :

Contoh hasil karya filologis dengan menggunakan pendekatan baru yang lain seperti pendekatakan strukturalisme yang digunakan Achadiati Ikram dengan penelitiannya atas Hikayat Sri Rama pada tahun 1979, Sulastin Sutrisno dengan penelitiannya atas Hikayat Hang Tuah pada tahun 1983, Edwar Djamaris dengan Tambo Minangkabau pada tahun 1991, dan sarjana – sarjana lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Selain itu ada juga penelitian filologi yang menerapkan pendekatan analisis resepsi seperti Arjuna – Wiwaha : Transformasi Teks Jawa Kuno Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa yang ditulis oleh Wiryamartana pada tahun 1990, dan Hikayat Meukuta Alam : Suntingan Teks dan Terjemahan Beserta Telaah Struktur dan Resepsinya oleh Abdullah pada tahun 1987.

Pada tahun 1990, penelitian filologi semakin beragam dan heterogen. Kajian filologi tidak hanya terdapat di perguruan tinggi umum Indonesia saja, melainkan sudah mulai masuk ke perguruan tinggi agama khususnya islam. Kajian filologi berintegrasi dengan kajian islam Indonesia yang banyak diinspirasi oleh salah satu tokoh cendikiawan islam yaitu Alm. Prof. Azyumardi Azra. Dalam salah satu karyanya beliau memanfaatkan 28 naskah keagamaan Nusantara. Hal tersebut beliau lakukan untuk menunjukkan adanya transmisi keilmuan islam dari Haramain ke Nusantara.

Pada awal abad ke - 21, Prof. Oman Fathurahman, seorang guru besar filologi menulis disertasi tentang “Tarekat Syatariyah di Dunia Melayu – Indonesia : Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya melalui Naskah di Sumatra Barat” pada tahun 2003. Dalam disertasi tersebut, Prof. Oman Fathurahman menggabungkan antara pendekatan filologi dengan sejarah sosial – intelektual.[4] Disusul pada tahun 2007 oleh Fakhriati yang menulis disertasi berjudul “Dinamika Tarekat Syattariyyah di Aceh : Telaah Terhadap Naskah – Naskah Tarekat Syattariyyah dari Periode Awal Hingga Periode Kemerdekaan.”

Dari aspek lain, perkembangan filologi di Indonesia pada abad ini, dapat dilihat dari adanya beasiswa untuk pengkajian filologi. Diantaranya, pada tahun 2010 unit di Kementerian Agama, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menyediakan beasiswa bagi dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam untuk mengambil program Doktoral pengkhususan Filologi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Depok.

Hingga sampai sekarang, kajian filologi di Indonesia semakin berkembang dan semakin eksis. Hal tersebut bisa penulis rasakan dengan adanya mata kuliah filologi di fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2022). Keberadaan mata kuliah Filologi di fakultas keagamaan, keyakinan penulis mampu untuk mewarnai kajian keilmuan islam yang ada. Karena antara filologi dengan kajian keagamaan khususnya islam bisa saling berintegrasi satu sama lain. Terkhusus bagi penulis yang menempuh kuliah di Jurusan Ilmu Hadis, adanya filologi sangat membantu dalam proses penyediaan sumber – sumber primer bahan penelitian. Apalagi, ilmu hadis sangat berkaitan erat dengan kitab hadis, naskah hadis dan sejenisnya yang berasal dari masa ulama – ulama klasik . Yang tentunya penelitian akan hal itu, salah satunya bisa dijembatani oleh filologi.

Waktu : 19.45 WIB, Rabu, 26 Oktober 2022.

[1] Oman Fathurahman, Filologi Indonesia : Teori dan Metode, (Jakarta : Prenada Media, 2021), h. 74.

[2] Achadiati Ikram, Filologia Nusantara (disunting oleh Titik Pudjiastuti, dkk.), (Jakarta : Pustaka Jaya, 1997), h. 2.

[3] Siti Hawa, Ruang Lingkup Pengajian Filologi Melayu dalam jurnal Filologi Melayu, Jilid 3, (Kuala Lumpur : Perpustakaan Negara Malaysia, 1994), h. 2.

[4] Oman Fathurahman, Filologi Indonesia : Teori dan Metode, (Jakarta : Prenada Media, 2021), h. 60

Diberdayakan oleh Blogger.
close