Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[CERPEN] Steva Oh Steva - Fathul Mubin

Cerpen Steva

Australia. Tidak masalah menghapus pengetahuan umum tentang negeri kanguru. Hewan bertelinga panjang dan suka melompat itu marak ditemukan di sana. Tidak hanya mengenal  satwanya, perluas lagi rasa penasaran yang menggantung di langit-langit pembicaraan, ευκάλυπτος  (Bahasa Yunani - tertutupi dengan baik) adalah sejenis pohon Eukaliptus dari Australia. Ada lebih dari 700 spesies Eukaliptus. Kulit pohon tinggi besar itu bak noda-noda cat yang dihias oleh anak-anak. Goresan warna indah, mengingatkan semua orang pada pelangi selepas hujan. Hutan nan jauh. Hati-hati dengan keindahannya ….

Malam hari menyelimuti bentang langit. Bintang-bintang terhempas ke setiap arah mata angin. Indah, membekukan pancaindra. Karena sudah gelap, waktunya Mr. Lumber Jack pulang. Ia menarik gerobak reot di belakangnya. Sedikit kepayahan. Gerutu serta rapat giginya yang hampir terhalang jenggot cokelat kemerahan lebat, mengeluhkan napas jengah.

Bulir keringat dihapus oleh punggung tangan. Laki-laki yang sedang menderek tumpukan ranting kayu Eukaliptus itu memutuskan berhenti berjalan. Terlihat jalan setapak samar dengan beberapa tanda ikatan tali pada setiap ranting daun. Di samping sabuk celana kulitnya, diletakkan alat sejenis kapak. Menebang pohon adalah aktivitas sehari-hari Mr. Lumber Jack.

Baca Juga : (Cerpen) Kebahagiaan Yang Tertunda - Cresensia Aprilia

Sesuatu terjadi! Mr. Lumber Jack melihat perbedaan warna langit tepat arah Barat. Aura merah membara, benar-benar menggambarkan pesona bunga mawar. “Apa itu?” tanyanya dengan kerut dahi semakin dalam.

"Kebakaran hutan?”

Tidak biasanya bagi Mr. Lumber Jack menyaksikan fenomena hutan terbakar. Mustahil penebang liar membakar hutan sembarangan, sedangkan ia salah satu penebang pilihan pemerintah. Tidak ada penebang lain sejauh ini. Ketika pandangan menengadah langit malam, awan mendung bahkan tidak menyertai. “Mungkin karena sambaran petir.” Jawaban batin yang bahkan ‘meragukan’ sang penebang pohon barusan.

Terpaksa Mr. Lumber Jack mengikuti jalan pulang. Setidaknya opsi terbaik daripada tertelan mentah-mentah perkiraan kebakaran yang belum tentu benar. Mengingat usianya memasuki pertengahan, kadang Mr. Lumber Jack mengira dirinya sedang halusinasi. Pengaruh lelah.

Di tengah jalan, si pria kapak dihadang sekumpulan rubah merah. Berbekal kapal tajam miliknya, ia berhasil mengusir binatang sejuta mitologi tersebut. “Selalu saja. Rubah-rubah sialan!” keluhnya sambil memastikan tak satupun rubah tertarik mengikutinya. Perjalanan berlangsung aman serta utuh. Usai meletakkan gerobak, barulah Mr. Lumber Jack masuk ke dalam rumah panggung kayu. Lampu minyak sempat padam. Tanpa repot-repot mengomel, laki-laki itu menyalakan sendiri menggunakan korek gas. “Mita, jangan buat aku marah hari ini.” Sambil mendengkus sabar. Langkahnya terdengar ramah begitu memijak anak tangga.

Lampu minyak di dalam kamar untungnya masih menyala. Suasana kamar cukup sempit dan usang. Mirip loteng satu jendela. Perabotan piring menjadi penghias tak berarti. Kecuali, ketiadaan seseorang di sana. Mr. Lumber Jack menemukan sepucuk surat basah. Pesan singkat dari Mita yang mengutarakan kejengkelannya pada sang suami serta Erin, anak gadisnya. “Siapa yang peduli kalau kau tidur di dapur. Enyahlah!” Membuang surat memuakkan baginya. Pintu kamar ia tutup, waktunya istirahat panjang. Tangan serta kaki diregangkan, sekarang Mr. Lumber Jack tertutup selimut kasar. Mata terpejam pelan.

Baru aja menutup mata, tiba-tiba hujan deras mengguyur hutan. Suara tetes air serta bau khas aroma alam yang disemai hujan mengurung niat Mr. Lumber Jack untuk tidur. Pandangannya menjadi bulat tatkala tertuju jendela. Ekspresi yang mempertanyakan ada hal aneh apa di luar sana. “Stevaaa ….” Terdengar bisikan misterius. Mr. Lumber Jack berusaha abai. Semakin larut, makhluk-makhluk halus yang kurang ia percayai selalu menghantui. “Steva, siapa?” batinnya tanpa sadar terserang kantuk mendadak.

Baca juga: [Cerpen] Senandita-Amelia Sholehah

* * *

Pagi-pagi buta, Mr Lumber Jack bangun karena mimpi buruk. Terngiang bisikan “Steva” semalam. Membuatnya segera mencuci muka, apalagi jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Jam terbaik mengambil manfaat kulit pohon Eukaliptus. Terutama ranting serta batang pohonnya. Tanpa mempedulikan menengok Mita, sekalipun ingin. Apa boleh buat? Ia mengenakan mantel tebal, bergegas keluar rumah. Pemandangan setelah hujan selalu menyegarkan. Mr. Lumber Jack menghidu tajam aroma khas tanaman sekitar. Bersama kapaknya, melakukan aktivitas menebang seperti biasa. Berjalan apa adanya.

Gerobak reot terkumpul beberapa ranting pilihan. Belum banyak. Lalu, Mr. Lumber Jack tertarik menelusuri hutan lebih jauh lagi. Tak lupa meninggalkan jejak ikatan tali maupun goresan menjorok pada pohon-pohon. Semakin mengumpulkan ranting, rasa penasaran menumpuk sedari tadi. Sungguh ia teramat penasaran tentang aura merah kemarin. Seperti ada dorongan pergi ke sana. Benar saja, Mr. Lumber Jack membuang segala ketakutan, memilih mengecek jejak aura merah karena tanda-tandanya kian jelas! Banyak pohon menjadi gundul, bekas terbakar.

“Oh, Tuhan ….”

Betapa terpaku lemas Mr. Lumber Jack ketika sampai di tepi lubang kawah raksasa, seakan pusat meteorit jatuh. Pohon sekitar kawah itu semuanya gundul, tanpa tumbang satupun. Sungguh mencengangkan. Muncul suara membekas. Suara yang mengingatkan sang laki-laki kapak pada anak gadis kecilnya sewaktu bayi. “Jangan-jangan!” Sambil bersimpuh. Mempertajam penglihatan. Di tengah kawah, terlihat bayi perempuan tanpa sehelai kain meronta-ronta dan menggeragap. Secara hati-hati, Mr. Lumber Jack harus turun ke bawah.

“Bayi yang cantik!” Bola mata berkilap haru. Tidak kuasa membendung air mata, seorang ayah penuh kasih sayang menggendong bayi dengan rambut tipis pirang barusan. Suasana hati Mr. Lumber Jack seperti hidup lagi. “Kenapa kamu ada di tengah kawah?”

Baca juga: [Cerpen] Sebuah Penghianatan-Depita Maharani

Sesampainya di rumah …. 

“Bodoh! Bunuh saja anak itu! Cks!”

“Dia kedinginan! Kita rawat anak ini!” 

“Selama ini kau mengkhianatiku? Ini anakmu bersama wanita lain?”

“Jaga ucapanmu! Aku menemukan bayi lucu ini di tengah kawah!”

“Pembual. Pemabuk! Kau berkhayal seperti biasa, dasar laki-laki manipulatif!”

“Kunamakan bayi ini Steva. Lihat rambut pirangnya. Pasti seseorang tak punya hati sengaja membuangnya di hutan ini sebelum bunuh diri dan membakar hutan.”

“CUKUP! HENTIKAN!”

Pertengkaran antara suami istri berlangsung tegang di ruang jamuan. Mita kemudian duduk, menarik napas dalam-dalam sambil meneguk segelas air putih sampai habis. Ia sangat marah, dan menuduh bukan-bukan. Keadaan Mita pun menunduk, sementara kedua tangan menyangga dahi. Tampak stres.

“Kau sudah tenang, istriku?” Mr. Lumber Jack mengayunkan Steva yang terbungkus kain tipis di ambang pintu. Sosok ayah yang masih sanggup menghentikan tangis bayi sekecil itu.

“Berapa usianya?” Dirasa sedikit tenang, Mita mulai penasaran tentang Steva.

Mr. Lumber Jack bergeleng. “Entahlah, satu bulan?”

“Kau pikir, kita mampu membesarkannya? Dia bukan dari darah kita!” cecar Mita berdiri. Menarik kursi sampai roboh.

“Jika bukan kita, siapa lagi? Erin akan sangat senang dengan kehadiran adik barunya.”

“Kupikir, aku sudah gila.” Mita melipat kedua tangan di ceruk kaca jendela. Ia enggan menatap sang suami beserta Steva. Yang dilakukan Mita hanya merokok. Tidak mempedulikan penampilan, ditambah rambut orange tergerai kusut. Tidak ada sepatah kata lagi. Mr. Lumber Jack menganggap Mita telah sepakat merawat Steva bersama.

“Steva, oh, Steva. Ciluk Baa!” Saking perhatiannya, tiada henti Mr. Lumber Jack menghibur Steva bayi. Suara tawa bayi tanpa dosa itu turut menggoda Mita agar mau menatap. Tetap saja Mita menahan. Mempertahankan ego.

Tiba-tiba terdengar suara piring pecah di dapur belakang. Mengejutkan Mr. Lumber Jack bersama istrinya. Bahkan, tangisan Steva menjadi-jadi. “Erin?” sebut ayah sendiri.

“Tuhan, cabut saja nyawaku!”

Mita mengeluh sepanjang hidupnya. Belum sanggup sabar menghadapi tingkah aktif Erin yang masih anak-anak berumur delapan tahun, malah harus menanggung derita membesarkan Steva.

Baca juga: Terhanyut dalam Pengajian-Aden Lailatul Qodri

* * *

Anggota baru hadir di tengah keluarga kecil yang selama delapan tahun menempati hutan Eukaliptus Australia. Namanya Steva, anak kedua Mita sekaligus adik angkat bagi Erin. Bukan tanpa alasan, sepanjang hari Mita melampiaskan amarahnya terhadap Erin. Apa pun kesalahan kecil yang Erin lakukan, siap-siap dicambuk tanpa ampun menggunakan sabuk kulit. Pemandangan menyedihkan setiap Mr. Lumber Jack pulang adalah keadaan Erin selalu memar serta menangis. Erin basah kuyup di kamar mandi.

“Ibumu melakukannya lagi?”

“Ayah, tolong aku!” Badan Erin menggigil hebat. Terdengar gemelutuk giginya. Ia menguatkan rangkulan pada kedua kaki yang ditekuk.

“Di mana Steva?” Sepertinya Mr. Lumber Jack telah bosan mendengar rengek nyaring anak kandungnya sendiri. Erin tidak memberi isyarat apa-apa. “Terima keadaan ibu angkatmu saat ini. Jadilah kuat!” Membungkuk sambil mencengkeram erat pundak kiri Erin. “Argh!”  Si anak korban siksaan ibu angkat itu mengerang.

Esok hari. Menyadari ada sedikit kelembutan di hatinya, Mita memutuskan membuka basement, tempat Erin dikurung. “Bermainlah dengan Steva! Ibu hampir membunuh anak itu!”

“Ibu … jangan! Jangan bunuh Steva. Ia masih bayi!” Sigap Erin berdiri, rambutnya tergerai hina dengan pakaian dress bunga sama seperti hari-hari sebelumnya. Lama sekali Erin belum mandi. Akibat dilarang ibunya dan dipaksa belajar matematika sendirian. Mita menjurus tatapan jahat sambil menelisik keseluruhan fisik Erin yang semakin kurus.

“Mandi dan makanlah. Ibu tidak ingin Steva menangis malam nanti.” Melipat kedua tangan di tengah dada. Ekspresinya datar, terbungkus hawa kebencian. Melihat ibunya pergi, Erin mengatur napas. Setidaknya, ia lega masih diberikan waktu meladeni si kecil Steva.

Pelan-pelan, Erin masuk ke kamar khusus bayi. Melihat keranjang bayi di sana. Hujan deras mengguyur malam itu. Petir maupun guntur menggelayuti ketakutan Erin seorang diri. Daripada menunda mendekat meski harus menelan ludah, tampaknya Steva tertidur tenang di keranjang gantung. Wajah Steva meredakan kesedihan Erin.

“Syuu, syuu. Lucunya. Ibu gak marah sama kamu kan?” Sekarang Erin menggendong sambil mengayunkan Steva penuh kelembutan. “Apa karena rambutmu? Selalu bercahaya di malam hari? Pantas ibu tak kuasa memarahimu. Rambut pirangmu … indah.” Entah sejak kapan rambut tipis Steva mulai tumbuh lumayan panjang. Seharusnya tidak secepat itu.

Tugas merawat Steva dilakukan bergantian. Kadang Mr. Lumber Jack, kadang Erin kalau sang ibu memberi izin. Memasuki hari kesepuluh, pertumbuhan Steva meningkat drastis. Ia mulai bisa merangkak, berjalan, dan menyebut nama ayah – ibu. Tidak dengan sebutan kakak. Setiap Erin membantu Steva mengeja sebutan kakak, Steva malah tertawa riang. Sampai satu bulan kemudian, bukan hal wajar anak sekecil Steva telah tumbuh menjadi anak-anak di usianya yang baru masuk setengah bulan. Sejak awal, Erin menaruh curiga, bertahap ia mencoret dinding yang terdapat bekas garis pertumbuhan.

“139  cm. Bentuk fisikmu sudah seperti anak sepuluh tahun. Bahkan, lebih tinggi dariku!” Aneh memang, tapi Erin tersenyum riang melihat adiknya sudah mampu bercanda ria. Secepat itu pertumbuhannya. “Aku akan melaporkannya pada ibu.”

“Erin, aku akan terus tumbuh? Setinggi jerapah yang ada pada buku dongeng?” tanya Steva enggan menyebut kakak. Penampilannya nyentrik, rambut pirang yang dikepang dua dengan pakaian overall biru, dalaman berlapis loreng merah muda.

“Panggil aku kakak.” Erin tersenyum kecut. Sudah lama ia menantikan Steva memanggilnya dengan sebutan kakak. Sebuah panggilan yang mudah disebut.

“Erin.” Kekeuh Steva berkata demikian.

“Mungkin kamu butuh waktu, Steva. Belajarlah sopan santun. Jangan pecahkan piring makan siang lagi. Kakak jadi repot menyatukan pecahannya. Ibu selalu marah pada kakak soal perilakumu.”

“Barang-barang di sini, semua milikku. Hancurkan saja semuanya. Itu mengasyikkan!” Malah Steva melompat girang.

“Jangan sampai apa yang ibu lakukan pada kakak, terjadi padamu.” Mulailah Erin bersimpuh, memeluk sayang sosok adik. Nyatanya, Steva tidak mau membalas pelukan.

“Apa yang ibu lakukan padamu?”

Sebelum menjawab, Erin tersenyum samar. Pelukan dilepas. “Tidak. Tidak ada. Istirahatlah.” Bergeleng singkat, badan kembali ditegakkan.

Steva melunak. Akan tetapi, tidak dengan isi hatinya. Mumpung Erin pergi untuk menyapu ruang tengah. Steva selalu punya rencana jahil terhadap kedua orang tuanya. Setiap tindakan usil yang dianggap remeh Steva, berakibat buruk pada Erin. Mita tidak akan segan menyiksa Erin jika ketahuan gagal menasihati Steva.

Keinginan mencegah atau menasihati sebagai seorang kakak, tetap saja memiliki celah. Pada akhirnya, Steva selalu menang. Steva tidak kapok menjahili ibu sendiri. Paling parah, membakar rambut ibunya saat terlelap, hingga Erin terpaksa berbohong kalau ia pelaku tindakan ceroboh itu. Steva bersembunyi di kolong kasur. Nasib Erin pun harus tidur di depan rumah sampai larut malam. Setidaknya sampai sang ayah pulang, membukakan pintu.

Baca Juga : (Cerpen) Broken Home - Dwi Lailatul Karimah

* * *

Dua bulan berlangsung. Berbeda dengan Erin yang masih anak-anak, ternyata Steva mencapai pertumbuhan usia remaja. Panggilan kakak seakan tidak berlaku lagi terhadap Erin, bahkan Erin menyayangkan percepatan tumbuh kembang adiknya dengan alasan kalau Erin kesulitan mengajak Steva bermain. Steva mulai hobi dandan, bernyanyi, dan seenaknya masuk kamar orang tua. Mengambil sisir atau pakaian gaya klasik yang tersimpan di lemari.

“Steva!” tegur Erin karena Steva membanting keranjang pakaian kotor. Isi pakaian terlempar berantakan.

“Stevanya. Panggil aku Stevanya ….” Sepatah kata Steva masih berlanjut.

“Kakak?” timpal Erin masih dengan harapan lamanya.

“Erin! Bukan kakak!” Seketika Steva berlalu masuk kamar. Sekarang kamar Steva terpisah. Atas permintaan Mr. Lumber Jack tanpa alasan jelas.

“ERIN! Bereskan jemuran pakaianku di halaman belakang! CEPAT!”

Belum lama Erin melamun, menatap keranjang pakaian tadi, terdengar seruan Steva dari dalam kamar. Mau tidak mau Erin menyanggupi. Napasnya terhempas sesak.

Baca Juga : (Cerpen) Harga Keluarga - Fathul Mubin

Malam dengan tandan bulan hampir memasuki musim hujan. Diam-diam Mr. Lumber Jack membuka pelan pintu kamar Steva. Tersenyum beringas ketika melihat Steva tidur menghadap arah sebaliknya. Kesempatan bagi Mr. Lumber Jack mendekat. Mendadak ia ingin melampiaskan hasratnya. Selagi sepi dan bentuk tubuh Steva sangat menggoda.

“Steva, lakukan sesuatu untuk ayahmu ….” lirih Mr. Lumber Jack duduk miring di tepian ranjang anak angkatnya sendiri. Sebenarnya Steva sudah menebak sikap aneh ayahnya hari-hari ini. Bahkan, Steva pura-pura terlelap.

“Steva ….” Tangan Mr. Lumber Jack mengusap selimut dari atas hingga meraba paha Steva. Kedua mata Steva melotot. Dibalik tangannya yang tersembunyi di dalam selimut, si gadis pirang itu menggenggam sesuatu.

“Steva … Ayah tidak tahan lagi! Berikan tubuhmu, STEVA!” Secara kasar, seketika Mr. Lumber Jack menindih tubuh Steva setelah menghadapkan badan anaknya agar terkapar.

“BODOH!”

Saat itu juga Steva menggeligat, tangannya menerjang wajah sang ayah. “AH!” Serangan pukulan batu pada kepalan tangan Steva berhasil melukai mata kiri Mr. Lumber Jack. Sosok ayah bertubuh besar itu mengeluh sakit. Ia terjatuh di bawah. Disaksikan Steva dengan tempo napas panik. Darah bercucuran melalui bekas pukulan mata.

“Ayah? Apa maksud semua ini?”

“Steva … jangan beritahu siapa pun tentang kejadian ini. Termasuk ibumu. Ugh!” Badan Mr. Lumber Jack bergetar. Steva bergeming tidak paham. Jika mau, ia akan mengadukan perilaku bejat ayahnya barusan.

“Apakah ibu sudah tidak menarik lagi bagi ayah?”

“Steva … kau berbeda! Kau berasal dari mana?” Terlanjur ketahuan, Mr. Lumber Jack menangis sesenggukan sebagaimana bayi. Ia terus memohon supaya Steva merahasiakan kejadian memalukan hari ini.

Sebelah mata Steva tertutup. Bibir atasnya naik, menunjukkan gestur jijik. “Keluarga menyebalkan. Ayah pikir bisa menikmati tubuhku sepuasnya? Enyahlah!” Mulailah Steva meletakkan kakinya. Menginjak muka sang ayah. Membiarkan Mr. Lumber Jack menghidu bau wangi kaki putih indahnya itu. “Sementara, ayah hanya kuberikan telapak kakiku saja. Jangan menangis seperti perempuan."

Baca Juga : (Cerpen) Lari, pa! - Fifa Lana S

* * *

“Matamu kenapa?”

Mita terheran memandangi muka bonyok Mr. Lumber Jack kala sarapan pagi. Steva duduk di kursi terpisah. Begitu pula Erin. Steva tersenyum culas menatap nasib malang ayahnya. Mengetahui Steva sedang menatapnya, buru-buru Mr. Lumber Jack meraup sesuap bubur panas. Ia batuk-batuk.

“Ayah sepertinya tidak enak badan?” Erin menuangkan air ceret ke dalam gelas. Meminta ayahnya minum secara rileks air teh hangat.

“Tidak. Luka di mata ini, karena ayah kejatuhan batu tebing.”

Semua terdiam. Bukan pemandangan pertama menurut Mita kalau suaminya kadang pulang membawa luka akibat resiko pekerjaan. “Steva sudah waktunya sekolah. Ia tumbuh sangat cepat. Kita masukkan TK atau SD?” Mita membuka percakapan.

“Ah, persetan dengan sekolah. Jika Erin tidak sekolah. Biarkan Steva tidak sekolah juga. Sebagai ibu, ajari anak-anakmu dengan benar.”

“Tapi ayah! Aku ingin sekolah!” seru Erin menunggu pembahasan sekolah sejak dulu.

“Aku tidak mau,” tolak Steva berdiri dari kursi. Tertarik pergi keluar rumah untuk menyegarkan pikiran. Kepergian Steva menjadi fokus perhatian ketiga keluarga kecil di meja makan.

Setibanya Steva di luar, ia memandangi langit mendung. Ricuh guntur tak kunjung lepas dari gendang telinga. Lambat waktu, hujan turun sangat deras. Steva tersenyum lebar, menari-nari menerjang hujan. Pertama kalinya ia bermain air hujan. Badannya boleh remaja, tapi ia masih ingin mengeksplorasi dunia sekitar. Salah satunya tertawa bersama hujan.

Blaaaaarrr!

Sambaran petir mengincar pesona rupawan wajah Steva. Meledak sudah kepalanya. Segala isi daging berhamburan dengan asap panas mengepul pekat. Tarian gemulai gadis rambut pirang itu berhenti. Namun, tidak bisa mati.

Baca Juga : (Cerpen) Pulang - Laily Qadarsih

Berkisar belasan menit, sang adik terdengar tertawa riang menyambut hujan. Erin senang mendengarnya dari dapur. Toh, ia tidak bisa menemani adiknya karena harus mencuci piring. Banyak piring kotor menumpuk. Ibu dan ayahnya sedang mengobrol sebentar di dalam kamar. Erin masih menikmati aktivitasnya, lalu seseorang berkali-kali mengetuk pintu depan. Alis Erin bertaut curiga. Siapa?

“Stevanya, jangan lama-lama main air hujan. Nanti sa­—“ Betapa Erin terkejut, ketika membuka pintu, kehadiran adik kandungnya menyulut raut takut serta syok.

“AAHHHHHHHHHHHHH!!!”

Erin menjerit histeris! Steva berdiri di ambang pintu dalam keadaan tanpa kepala. Enteng melambai memberikan sapaan.

“ERIN! Ada apa?!”

“Astaga!”

Mr. Lumber Jack bersama Mita tertarik keluar kamar. Mereka berdua sama terkejutnya. Kecantikan wajah Steva yang dengan susah payah dibentuk sang ibu, tinggal leher dan tulang. Mengerikan.

“APA YANG TERJADI? OH, TUHAN!” teriak Mita sampai tidak kuat berdiri.

“Sudah ayah duga. Steva bukan manusia. Si rambut pirang yang kita besarkan ini adalah hantu! Erin, kurung Steva di basement! Sekarang!”

“Steva ….!” Erin sepenuhnya menolak. Berharap apa yang ia saksikan sekarang hanyalah mimpi panjang. Sebenarnya siapa Steva?

Baca juga: Berapa Lama Kebiasaan Baru Terbentuk?

* * *

Semenjak melihat Steva tanpa kepala, apalagi masih hidup … diduga Mr. Lumber Jack melarikan diri dari rumah sejak jam dua siang. Sementara, waktu memasuki tengah malam. Rona mimik takut menghiasi wajah ibu serta si anak pertama. Mita duduk gemetaran di atas kasur, sedangkan Erin bertugas menjaga basement. Meskipun berkali-kali ketukan pintu sosok Steva yang dikurung membuyarkan rasa kantuknya.

“Steva?” Erin bangkit usai memposisikan tidur terlentang di alas kayu tanpa sehelai selimut.

Muncul dorongan kuat di benak Erin agar membuka kunci pintu, tempat Steva dikurung. Erin benar-benar membuka pintunya. Selama itu pula ia berdiri menatap Steva di depan. Tidak terjadi apa-apa. Steva tidak banyak bertingkah apalagi mengomel karena hidup tanpa kepala. Musibah hari ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Erin.

“Ikut Kakak ke kamar, ayo!” Mencekal kuat tangan Steva. Hati-hati mengajaknya naik tangga menuju kamar.

Baca Juga : (Cerpen) Setengah Jiwaku Pergi - Fathul Mubin

Berkat ditemani Steva, maka Erin dapat dengan mudah mengerjakan tugas matematika pemberian sang Ibu. Selagi Erin duduk di kursi meja belajar, Steva pun diberi tugas melipat baju. Tidak biasanya Steva menurut. Mau membantu meski kekurangan anggota wajah.

“Seandainya kepalamu masih ada, pasti kamu akan menyebutku sebagai Kakak, kan?” Menoleh belakang. “Steva, aku tidak peduli apakah kamu hantu atau hanya imajinasiku saja. Kecantikanmu sangat nyata sekalipun tanpa kepala. Sungguh.”

Erin sadar, mana mungkin Steva menjawab. Itu yang membuatnya sedih, lagi-lagi ada saja halangan ikatan saudara antara mereka. Ditelan waktu, perlahan Erin menutup mata. Tenggelam di alam mimpi.

“Auh, sakit.”

Merasa ada yang salah pada anggota badannya, sensasi perih berdenyut itu membangunkan Erin yang tanpa sadar ketiduran di atas meja belajar. “Kenapa sakit sekali?” Mengedipkan mata berkali-kali. Rasa sakitnya baru terasa luar biasa ketika Erin sadar seutuhnya.

“TIDAK!”

Pantas begitu perih, rupanya kedua lengan tangan Erin tidak ada. Seperti habis dipotong. Pelakunya sudah jelas, berdiri sosok Steva di sampingnya sambil memegang pisau buah. Sekujur badan Steva berlumuran darah. Erin tercekat, kesulitan berkata-kata.

Baca Juga : (Cerpen) Gadis Rambut Pirang - Fathul Mubin

Entah apa yang sudah Steva lakukan pada Erin beberapa menit setelahnya, sekarang Steva berjalan keluar rumah. Menerjang hujan lebat. Bekas merah darah pakaiannya, luntur sedikit demi sedikit. Lalu, petir kedua kali menyambar, menargetkan Steva yang langsung hilang ditelan asap. Petir ketiga menyambar atap rumah hingga terbakar ganas. Di dalam rumah, tersisa Mita seorang. Tanpa henti berteriak, menyaksikan rambutnya berubah warna menjadi pirang di depan kaca kamar.

Berhari-hari Mita hidup di basement, hanya memakan bangkai tikus.

Tamat. 

______________________

Email : Mubin5849@gmail.com

Wattpad akun : FathulMubin22

Instagram : calon_penulis_aamiin

Facebook : Mubin (Profil vector editor)

Diberdayakan oleh Blogger.
close