Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Kebahagian yang Tertunda - Cresensia Aprilia

 



    Kalian tahu? Didunia ini banyak sekali manusia yang hidupnya sangat beruntung.
 
    Namun, ada juga manusia yang hidupnya tidak beruntung. Dikala kesedihan, mereka selalu tersenyum, seperti matahari yang selalu menyinari bumi.
 
    Manusia terkadang tidak bersyukur dengan segala nikmat yang diberikan tuhan kepadanya. Mereka, selalu menganggap sebelah mata kepada manusia yang tidak sederajat dengannya. Padahal, kita semua ini sama. Sama - sama mahluk ciptaan tuhan. Dengan kekurangan dan kelebihan yang diberikannya kepada kita semua.
 
    Tertawalah, selagi dapat kau nikmati. Namun, jangan sampai berlebihan, karena bisa saja tawa kita awal dari luka yang mendalam.
 
    Naisa Ananda, gadis lugu berparas cantik, mempunyai lesung pipi yang menambah nilai manisnya. Dia adalah anak pertama dari keluarga berkecupan, Ananda Sriwijaya, seorang pemilik toko roti terkenal didaerah Bandung dan Salwa Ananda, seorang desainer terkenal dan mempunyai butik sendiri. Naisa mempunyai adik kecil perempuan, bernama Lala Ananda. Usia mereka tidak terlampau jauh, berkisar 4 tahun dari usia Naisa.
 
    Kesibukan ayah dan ibunya, membuat dia harus belajar mandiri dan bertanggung jawab untuk menjaga adik perempuaannya. Naisa cukup bisa diandalkan, terlebih ia ditemani oleh mbo lastri - asisten keluarganya yang sudah cukup lama mengabdi di keluarga Ananda. Naisa hanya berharap ia mempunyai waktu untuk bersama ayah dan ibunya.
 
    Naisa sudah duduk dibangku SMA kelas XI - IPA. Bersekolah di SMA 02 Bandung, ia hanya mempunyai dua sahabat yang bernama Jingga dan Kamal. Jangan tanya? mengapa Naisa mempunyai teman yang dapat dihitung oleh jari, dirinya berpikir untuk apa mempunyai banyak teman? Jika dari mereka semua hanya memanfaatkannya atau bahkan mencari sensasi, karena dapat berteman dengan seorang anak yang kaya raya.
 
    Bagi dirinya, memiliki dua sahabat sangat lah cukup. Karena hanya Jingga dan Kamal yang dapat melihat dirinya, apa adanya. Bukan ada apanya.
 
    Naisa sangatlah bahagia, karena tuhan memberikannya keluarga yang lengkap dan dapat memenuhi semua kebutuhannya. Walau begitu, ia merasa sangat kesepian karena ketidakhadiran kedua orangtuanya diwaktu yang ia inginkan. Tinggal dirumah yang cukup besar dan luas, membuatnya terasa hampa tanpa kehangatan dari ayah dan ibunya.
 
    Lala pun merasakan hal yang sama dengan kakaknya, ia sudah bukan anak kecil lagi. Dirinya tidak bisa dibohongi dengan diiming - imingi sebuah lolipop atau es krim kesukaannya. Usia lala sudah 13 tahun, cukup matang bagi seorang remaja cantik. Seperti dirinya, dia berharap Tuhan dapat mendengar keluh kesah ia dan kakaknya.
 
    Setiap hari mereka selalu berdua tanpa terpisah, saling melengkapi, saling memberi sandaran, dan saling mengungatkan satu sama lain. Rasa sayang dan cinta mereka, sudah mendarah daging. Jika ada yang dapat memisahkan mereka berdua, perpisahan tersebut ialah maut.
 
    Seperti biasa, Naisa duduk ditaman belakang rumahnya. Tempat favorit dirinya, setiap malam. Dia dapat menghabiskan waktu hingga larut malam, sambil melihat bintang dan menikmati dinginnya malam.
 
    Lala yang sudah tahu keberadaan kakaknya. Menghampiri, kemudian duduk bersama disatu bangku. Naisa pun tersenyum, melihat kehadiran adik kesayangannya.
 
    "Kak, kita kapan ya? Bisa kumpul bareng sama ayah dan ibu. Sebentar lagi kan liburan sekolah, kak?" tanya Lala sendu. Sang empu hanya tersenyum tanpa ingin menjawabnya. Dia pun tak tahu, kapan waktu itu datang.
 
    Lala pun bertambah sedih hingga air matanya keluar, membuat Naisa terlonjak kaget. Dia pun mendekati adiknya untuk memeluk agar Lala tidak menangis kembali.
 
    "Sudah ya, kakak yakin! Waktu itu akan datang. Kita akan dapat berkumpul bersama ayah dan ibu. Percayalah, lala." setelah itu, mereka pun masuk kedalam karena sudah waktunya untuk tidur.
 
    Pukul 01. 00 WIB dini hari. Dia terbangun dari tidurnya, karena mendengar perdebatan ayah dan ibunya. Ternyata, mereka berdua sudah pulang dari tempat kerjanya masing - masing. Namun, Naisa sedikit kecewa karena hadir mereka yang semu. Perdebatan mereka berdua soal pekerjaan, selalu menjadi dalang dalam kehancuran bahagianya.
 
    Naisa dapat bernafas lega sebab Lala masih tertidur lelap, ia tidak ingin adiknya terbangun dan mengetahui perdebatan ayah dan ibunya.
 
    Suara keras sudah tidak terdengar, ayah dan ibu pasti sudah selesai membicarakan hal yang tidak penting. Pikirnya.
 
    Dia pun turun dengan selimut menghiasi tubuh mungilnya. Di ruang keluarga, Ananda dan Salwa saling membalikan badan tanpa ingin menegur satu sama lain. Kehadiran Naisa membuat kedua orang tuanya, terkejut. Putri sulung mereka, pasti terbangun karena perdebatan mereka berdua.
 
    "Sayang, kamu kok bangun?" tanya Salwa seperti tidak terjadi apa - apa. Naisa hanya menatap sendu. Tatapannya, mengisyaratkan jika dia sangat lah kecewa kepada kedua orang tuanya.
 
    "Naisa, lanjutkan tidurmu! Kamu besok kan harus sekolah." ujar Ananda dengan mengangakat jari telunjuknya. Tapi, Naisa hanya terdiam tanpa, terbesit untuk menuruti perintah ayahnya.
 
    Bukannya kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya. Naisa maju mendekati Ananda, sambil mengeratkan selimut ditubuhnya.
 
    "Ayah sadar gak? Aku dan Lala tidak bahagia, kenapa? Karena ketidakhadiran ayah dan ibu. Kalian, selalu pergi tanpa ingat pulang. Tanpa, ingat jika masih ada dua putri yang menunggu ayah dan ibu pulang."
 
    "Naisa tahu, kalian bekerja untuk aku dan Lala. Naisa tahu! Namun, bukan uang atau barang - barang canggih. Bukan, ayah, bu. Aku dan Lala hanya ingin sehari saja, bersama ayah dan ibu, saling bertukar cerita dan membuat satu kenangan yang sangat bahagia."
 
    Setelah, mengeluarkan semua beban dalam dirinya. Ia merasakan sesak di dadanya, Naisa yakin. Pasti Asma yang ia derita kambuh. Tak apa, setidaknya ia sedikit. Memberi tamparan kepada kedua orang tuanya.
 
    Ananda dan Salwa terdiam. Mereka seperti patung, mereka memang tertampar akan semua perkataan putri sulung mereka. Emosi yang tadinya menyelimuti Ananda, seketika lenyap. Mendengar semua lirih putrinya. Sedangkan, Salwa sudah menangis tersedu -sedu.
 
    "Maafin ibu, maafin ibu, Naisa. Ibu sudah gagal menjadi sosok pelindung bagi kalian, ibu terlalu fokus pada butik. Hingga lupa, akan kewajiban sebagai seorang ibu. Kasih, ibu kesempatan, untuk memperbaiki semuanya." Salwa terduduk menghadap putrinya, tangisan pun masih membasahi pipinya. 
    Naisa tidak tega karena ibunya yang sampai terduduk lemas.
 
    Dia pun membangunkan Salwa, lalu memeluk ibunya erat. Salwa membalas pelukan putrinya. Rasa hangat lansung menyeruak raga Naisa dan ibunya, namun, kejadian yang mengharukan itu tidak berangsur lama. Naisa mengalami sesak nafas, Salwa pun panik bukan kepalang. Melihat wajah pucat disertai raut kesakitan, memberikan pukulan hebat untuk dirinya.
 
    Ananda yang sedari tadi terdiam dan hanya melihat. Dia ikut panik, terlihat dari raut wajahnya yang tegang. Segeralah, ia mengambil alih dari pangkungan istrinya lalu membopong Naisa menuju mobil. Sebelum berangkat menuju rumah sakit, Salwa membangunkan Lala yang tertidur lelap dikamarnya.
 
    "Lala, bangun dek. Lala, wake up!" Salwa pun terus membangunkan putri bungsunya, hingga akhirnya Lala terbangun dengan wajah terkejut. Spontan, dirinya langsung memeluk ibu yang sangat ia 
rindukan.
 
    "Pelukannya kita lanjut, nanti ya. Sekarang, ayo ikut ibu. Asma kakakmu, kambuh!" Lala pun kembali terkejut, kemudian turun bersama ibunya. Lalu masuk kedalam mobil dengan tangis yang sudah pecah.
 
    Disepanjang perjalanan, Salwa dan Lala hanya bisa menangis melihat Naisa yang kesakitan. Ananda pun tetap fokus menyetir mobilnya, agar cepat sampai di rumah sakit.
 
    Disela sesaknya, Naisa mencoba membuka matanya. Senyum manis ia paksa agar terlihat ia baik - baik saja. Dia merasa bahagia karena dirinya berhasil membuat ayah dan ibunya bersatu, kembali seperti dulu.
 
    Dulu Naisa dan Lala seperti putri kecil yang selalu dimanja dan selalu diperhatikan. Naisa sangat rindu akan kenangan tersebut. Semoga Tuhan, dapat mengembalikan senyumnya yang dulu.
 
    Mereka sudah sampai di Rumah Sakit Pelita Kasih. Dibawalah Naisa menuju ruang UGD.
 
    Ananda, Salwa, dan Lala tidak henti - hentinya berdoa. Lala masih saja menangis dipelukan ibunya. Ananda pun mendekat lalu dipeluklah mereka berdua, rasa hangat seketika masuk kedalam raga masing - masing.
 
    Seorang Dokter keluar dari ruangan Naisa. Dokter tersebut tersenyum hangat, seraya melangkah mendekati keluarga Naisa.
 
    "Bapak, ibu, dan adik. Tidak perlu khawatir, karena keadaan Naisa sudah baik - baik saja. Naisa hanya perlu istirahat dan buatlah dia bahagia," ucap Dokter tersebut lalu meninggalkan mereka bertiga yang termenung kembali.
 
    5 hari setelah Naisa dirawat, hari yang ia tunggu, waktu yang ia inginkan. Telah datang dengan membawa sejuta kebahagian. Ya. Hari ini, dia dan keluarganya pergi jalan - jalan kesebuah taman yang sangat ia rindukan.
 
    Menghirup udara dipagi hari dengan matahari yang cerah, membuatnya semakin sehat. Dilihatnya ayah dan ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk ia dan adiknya nikmati.
 
    "Naisa, ayok kak. Sini kita makan dulu," panggil Salwa seraya tersenyum, merasa terpanggil Naisa berbalik lalu berlari menghampiri keberadaan keluarganya.
 
    "Naisa, maafkan ayah ya. Ayah janji akan selalu ingat sama kalian, dan selalu menjaga keluarga ayah dengan keharmonisan," ucap Ananda manis. Naisa mengangguk lalu mereka pun saling memeluk.
 
    Naisa sangat bahagia. Ia terasadar, jika semua rasa sepi, semu, ketidakadilan, serta semua masalah yang dihadapkan untuknya. Awal dari kebahagian yang tertunda.
Diberdayakan oleh Blogger.