Keterangan :
Kumpulan puisi yang saya sendiri sebut Sonata. Puisi ini memiliki beberapa larik, dimana di tiap akhir larik selalu berkaitan dengan judul. Puisi ini memiliki berbagai variasi genre, tidak hanya genre tertentu saja. Sengaja saya acak urutannya supaya lebih membuat penasaran. Saat ini Terlahir Sebagai Pecundang adalah bagian ke 3 dari Sonata.
(*)
Aku terwujud dari apa yang terlihat dalam tatapan pelecehanmu,
Aku tumbuh seiring wewangian yang melindas mati kata hatiku untukmu,
Dan ku merangkak dalam evolusi ungkapan hati yang terus tumbuh memudar,
Setia menunggu di dalam mulut-mulut penolakan yang setiap saat bisa saja mengunyahku pelan-pelan,
Kau harus tahu...
Aku terlahir sebagai pecundang karena pengabaianmu.
(**)
Andainya aku bisa memoles perasaanmu menjadi sedemikian rupa sesukaku,
Mendandani isi hatimu dengan seluruh apa yang tertampung dalam perasaanku,
Namun pasti segalanya akan luntur oleh penyakit bernama kesombonganmu,
Sungguh sakit ucapan mu itu, sebab katamu,
"Hapuskan lah keberadaan mu daripadaku"
"Karena kau terlahir sebagai pecundang"
(***)
Lalu nyanyian sumbang terus bergema dari dalam penolakan,
Dengan frekuensi yang memekakkan telinga,
Suara itu terus terapung-apung melewati pikiran,
Menyusup masuk ke dalam aliran darah dan mengacaukan perayaan disana,
Namun selayaknya sebait orasi tak bernyawa,
Ia tak dapat menemukan arti,
Sambil mengeluh kesal dan pergi,
Sang nyanyian sumbang berkata,
"Biarlah..."
"Aku memang terlahir sebagai pecundang."
(****)
Kemudian kataku pada diriku sendiri,
"Bukannya kau sendiri tahu bahwa setiap pemenang selalu bersiap untuk kalah,"
"Dan mimpi bagi setiap pecundang adalah menjadi pemenang diantara yang kalah?"
"Engkau yang ditimang-timang oleh perasaan itu pasti memahaminya betul,"
"Ya 'kan?"
"Sadar sejak dari awal permulaan ketika kita dibuai ibunda dalam kandungan bahwa..."
"Setiap yang terlahir sebagai pecundang harus setia menemani takdirnya yang buta, bisu, tuli dan tak bisa meraba."
(*****)
Jika diandaikan...
Perasaan setiap pecundang itu bagaikan mentari yang hanya tersisa inti redupnya,
Juga layaknya bayangan yang selalu ditinggalkan jejak yang dibuatnya sendiri,
Semakin jauh dan jauh.
Selalu kalah berperang,
Meski dengan imajinasi yang bisa dirangkai sesuka hati oleh diri sendiri.
Meski begitu sekali-kali ingin rasanya ada kemenangan satu laga saja,
Meskipun hanya dengan bayangan sendiri.
Itulah mimpi dari setiap insan yang terlahir sebagai pecundang, contohnya aku.
Rekomendasi Buku Kumpulan Puisi Terbitan Penadiksi :