Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Cemburu - Uli Nasifa

Sumber gambar : https://pixabay.com/id/illustrations/masukan-survei-daftar-pertanyaan-3239454/

Cemburu


[Kania, bisakah kamu malam ni menemuiku?]


[Untuk apa? Bukannya kemaren malam kita baru saja ketemu?]


[Aku kangen, Kania]


[Apa? Kangen katamu? Aku banyak kerjaan. Enggak bisa]


[Kania, temui aku, atau aku yang akan menemuimu]


[Jangan nekat, Haidar, aku masih ada urusan dengan teman kantor]

Baca Juga : [Cerpen] Fatin Karya Maulidya

*


Selang satu jam setelah aku mengirim pesan padanya, gadis yang menjadi pengobat rindu, tak kunjung datang menemui. Aku membuka ponsel, menjelajah media sosial untuk menghibur diri, namun rasa rindu dan curiga terus bergumul di dalam pikiran.


Aku bergegas menyalakan mesin mobil dan meluncur ke kantornya. Terlihat dari kejauhan dirinya sedang duduk bersama seorang lelaki. Aku menghampiri keduanya dan menarik lengan Kania. 


Seperti biasanya, ia takkan menolak permintaanku, jika aku sudah di depan matanya. Entah karena takut atau karena cintanya padaku. Gadis yang mengenakan sepatu heels itu berjalan mengekor menuju mobilku.


Aku menjemput paksa dirinya, membawanya menyusuri jalan yang sepi menuju rumahku. 


"Aku sudah menyediakan makan malam untukmu, kita pulang kerumahku saja."


"Oke." Ia menggangguk pelan. 


Mobil melaju dengan kenjang, berjalan menyusuri jalan yang sepi menuju rumahku. Memang tidak terlalu suka keramaian, aku lebih memilih tempat yang nyaman dan sepi.

Baca Juga : [Cerpen] Tragedi Cinta Di Bumi Prambanan - Yohana Restu Wilistya


Tangan kanan memegang setir, sementara tangan kiriku menarik tangan Kania dan menaruhnya tepat di dadaku, agar ia merasakan degup jantung yang tak beraturan namun tenang setelah hadir dirinya. Perasaan yang menelisik hati tersebut menguap begitu saja. Aku me-nge-cup lembut punggung tangannya.


"Sudah ku bilang, jangan nekat datang, Haidar!" ucapnya ketus, menarik lengannya dari genggamanku. 


"Aku rindu, Kania."


Ia terdiam cukup lama, pandangannya lurus ke depan. Kedua tangannya ditumpuk depan dadanya.


"Sepertinya kamu harus ke psikolog, Haidar," ucapnya datar.


"Apa? Psikolog? Aku nggak sakit, Kania," sontak aku terkejut mendengar perkataannya. 


Ia terdiam.


Aku berusaha meraih tangannya kembali, namun ia menolak genggaman tanganku. Dadaku semakin memanas oleh sikapnya, ditambah lagi penolakannya, saat aku meminta bertemu.


Aku memarkirkan mobil ke tepi jalan dan menghentikan nyala mesinnya. Tatapan kami masih lurus ke depan, tanganku masih bertumpu di atas setir dan kedua tangan Kania pun terkatup di depan dadanya.

Baca Juga : [Cerpen] Hamka Dan Goresan Hati - Nurul Afifah


"Siapa laki-laki yang bersamamu, Kania?" ucapku memecah keheningan, menghadap paras cantiknya.


"Teman," sahutnya singkat


"Te-man?" aku mengulangi kata-katanya seraya tersenyum sinis.


Aku mendekat, menatap wajahnya begitu lekat, hingga tersisa jarak satu jengkal. Nafasnya memburu, matanya terbelalak, menatap dalam kedua bola mataku. Tangan kiriku memegang erat wajah cantiknya. Kedua tangan Kania meremas kursi mobil.


"Teman yang bisa memberimu segalanya, lebih dari aku?" ucapku setengah berbisik.


"Hanya temen ker---" kalimatnya seketika terhenti, saat ia mencoba menjelaskan lagi kepadaku. Aku melempar benda tajam setelah aku pakai, ke luar jendela mobil.


Kedua bola matanya membulat dan bibirnya meringis kesakitan. Wanita cantik yang duduk di kursi sebelah kiriku, wajahnya telah memucat, bibir merahnya yang tertutup lipstik kian membiru. Bulir bening keluar dari sudut matanya.


"Jangan menangis Kania, aku tak mampu melihatmu seperti ini," ucapku melepaskan wajahnya dari genggaman tanganku. Tiba-tiba aja aku merasakan iba melihat gadisku menahan sakit.


Air mata yang mengalir dari kedua netranya, melunturkan make up yang ia kenakan. Mataku menatap wajah sendu wanita yang belum lama ini aku kencani. 


"Aku mencintaimu lebih dari cintamu padaku, Kania."


Aku mengusap bulir bening pada wajah cantik Kania. Memandangi gadisku yang sudah tak berdaya. Cairan merah segar terus mengalir dari dada hingga perutnya, hingga pakaian yang ia kenakan, berlumur cairan tersebut. Kedua tangan lemahnya memegangi luka pada tubuhnya.


Setelah sempat terdiam cukup lama, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Aku merogoh kocek celana sebelah kiri, mencari kantung sampah besar yang sudah aku persiapkan sebelum berangkat. Memasukkan tubuh Kania dalam kantung besar yang berwana hitam dan meletakkannya di bagasi mobil.

Baca Juga : [Cerpen] Menjaga Hati Untuk Yang Tak Diridhoi - Siti Nurmaisah Nasution


Mobil kembali aku nyalakan untuk meneruskan perjalanan pulang. Rodanya terus berputar, melaju dengan kencang. Hingga sampai dirumah dengan desain minimalis milikku.


Menit kemudian, aku memarkirkan mobil masuk ke garasi. Malam yang sudah larut, hanya ada suara jangkrik, suasana sekitar rumah pun begitu lengang dan hembusan angin dingin mencekam malam yang kelam. 


"Sudah aku bilang Kania, kamu turuti saja apa mauku. Jadi nasibmu takkan seperti ini," ucapku seraya menurunkan kantung hitam besar dari bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah.


Bola mataku berputar, melihat ke sekililing rumah dengan liar. Aku membuka kantong hitam tersebut. Membaringkan tubuhnya di lantai. Gadis yang aku bawa dari kantornya sudah tak berdaya. Cairan merah segar terus mengalir dari lukanya. Wajah ayunya sudah pucat pasi.


Aku mengusap wajah hingga rambut dengan kasar. Kemudian mendaratkan tubuhku disampingnya, menyesap sebatang rokok yang baru saja aku nyalakan. 


"Bangun Kania, kita makan malam bersama." 


Sekilas aku mirik ke tubuhnya yang terbujur di sampingku, kemudian menghembuskan asap rokok yang keluar dari mulut dan hidungku ke udara.

Baca Juga : [Cerpen] Lucunya hubungan kita - Nicanser


"Aku tidak bisa melihatmu bersama dengan lelaki lain!" racauku padanya. 


"Tak bisakah kamu menangkap sinyal api kecemburuanku, Kania?"


Aku tersenyum getir, melihat kondisinya yang begitu mengenaskan. Menyadari dirinya yang sudah tak bergeming, aku menggeser badan sedikit menjauh.


*


Aku mengelap dahi yang penuh peluh bercucuran. Kemudian kedua tanganku kembali aktif bergerak membongkar lapisan keramik lantai. Satu persatu aku mencongkelnya membentuk persegi panjang. Mengeluarkan tanah dari dalamnya hingga kedalaman setinggi orang dewasa.


Kamu tak ingin bertemu denganku malam ini karena ada kencan dengan lelaki itu, bukan? Kamu lebih memprioritaskan dia daripada aku? Gumam aku dalam hati. 


Tidak berselang lama. Aku bawa gadis yang begitu aku cintai, masuk kedalam lubang yang sudah aku siapkan. Dan menutup dengan gundukan tanah merah. 


Jauh di dalam ruang sempit nan gelap di bawah sana. Kemudian aku tutup kembali keramik yang direkatkan dengan campuran pasir hitam, air serta semen.

Baca Juga : [Cerpen] Cinta Bersemi Di Musim Gugur - Maya Asytaqu Ilayk


Aku nyanyikan kidung cinta dan rindu, yang merdu untuknya, menghantarkan dirinya di persemayaman abadi.


'Sekarang, tak akan ada yang bisa mengencanimu lagi Kania. Kamu terlalu naif untuk sebuah pertemuan.' Aku tersenyum sinis penuh kemenangan.


Tamat.


Brebes, 22 April 2024.


Diberdayakan oleh Blogger.
close