Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Abrakadabra - Pita Lanapi

 



    “Lo telat juga?” tanya salah satu siswi yang juga sedang menjalani hukuman menyapu halaman akibat datang terlambat.
 
    “Menurut lo?” jawabku cuek. Aku mempercepat gerakanku supaya hukuman ini cepat selesai. Aku sudah tak sanggup menahan malu menjadi tontonan murid satu sekolah.
 
    “Oh ya, lo kelas berapa?” siswi tersebut kembali bertanya, membuat mataku terbelalak mendengarnya. Ini pertama kali aku mendapati ada murid di SMA Nusantara yang tak mengenaliku.
 
    “Lo anak baru, ya?” selidikku penasaran.
 
    “Iya. Kenalin, gue Siwi, kelas delapan G.” Jawabnya seraya mengulurkan tangan mengajak berkenalan.
 
    “Pantes,” ujarku lalu kembali menyapu halaman tanpa mempedulikan uluran tangan gadis bernama Siwi itu. Dengan raut wajah kesal, gadis itu akhirnya menurunkan tangannya kembali.
 
    “A-bra-ham-Dirk. Abraham Dirk?” Ia berusaha mengeja nama yang tertera di badge seragamku. Aku segera membalikkan badan supaya ia tidak bisa lagi mengajakku berbicara.
 
    “Nama lo susah banget, sih. Gue harus manggil apa, nih? Manggil Abraham kepanjangan, manggil Dirk ntar keseleo lidah gue, masa Abra? Atau Ham?” protesnya. Aku tetap fokus menyapu halaman, pura-pura tak mendengar.
 
    “Atau Abrakadabra? Hahahaha.” Imbuh anak baru itu. Tawanya meledak, membuat semua siswa yang sedang dihukum memandang ke arahnya.
 
    “Lo bisa diem nggak sih?” sahutku kesal, membuat dia terkesiap dan menutup mulutnya.
 
    “Nama panggilan gue Bram. Udah puas? Kalo udah, sekarang mending lo beresin hukuman lo dan nggak usah ngurusin gue!” gertakku pada anak baru bernama Siwi itu, kemudian pindah menyapu di tempat lain. Tampak wajah Siwi memerah, matanya mendelik, sepertinya dia kaget aku omeli seperti itu. Ada sedikit rasa bersalah di hatiku. Tapi sudahlah, toh dia yang memulai duluan. Yang benar saja, ia memanggilku Abrakadabra. Dia pikir aku tukang sulap?
 
    Seminggu kemudian, SMA Nusantara dihebohkan dengan berita hari ulang tahunku. Atas keinginan Papa, aku mengundang seluruh siswa SMA Nusantara untuk datang ke pesta perayaan sweet seventeen ku malam ini. Pagi tadi sebelum bel masuk berbunyi, kelasku ramai didatangi siswa-siswi kelas lain yang hendak mengucapkan selamat padaku. Tak berhenti di situ, hari ini aku juga menjadi topik pembicaraan di sekolah karena hadiah ulang tahun yang Papa berikan. Mobil Camry hitam keluaran terbaru itu membuat geger seisi sekolah, sampai-sampai sembilan puluh persen siswi di sekolah termasuk kakak kelas, beramai-ramai berusaha mendekatiku. Sepuluh persennya lagi adalah siswi yang masih punya malu dan tidak materialistis.
 
    “Bram? Abraham Dirk, maksudnya?” tanya seorang siswi pada salah satu temannya di kantin. Rupanya mereka tak sadar aku datang.
 
    Penasaran apa yang sedang mereka perbincangkan, aku segera mencari meja yang agak jauh dari mereka dan memasang telinga tajam-tajam.
 
    “Iya bener. Lo udah kenal?” tanya balik siswi yang lain.
 
    “Oh dia, udah kenal dari pertama kali gue pindah. Males ah, orangnya galak gitu. Nggak bisa diajak bercanda, nggak asik.” Dari perkataannya, bisa kutebak bahwa itu Siwi. Siswi yang ku omeli sepekan lalu di halaman sekolah.
 
    “Orangnya emang agak cuek, sih. Tapi ganteng, tinggi, putih, tajir pula. Ah cucok lah pokoknya,” timpal siswi yang lain.
 
    “Iya bener tu,.” Sahut tiga siswa lainnya bersaut-sautan. Dari kelima siswi yang sedang membicarakanku itu, sepertinya hanya Siwi yang tidak tertarik padaku. Pasti karena kesan pertama yang aku berikan padanya pekan lalu.
 
    “Terserah kalian deh. Lagian emang gue diundang, ya?” Siwi kembali bertanya.
 
    “Semua warga SMA Nusantara diundang, Wi. Ya itu artinya lo juga diundang,” jelas salah satu siswi. Siwi mengangguk paham.
 
    “Kebayang nggak sih, pesta nanti malem semeriah apa? Secara, hadiahnya aja Camry, cuy.” Kata salah satu siswi terkagum.
 
    “Bentar-bentar, kok kayaknya Bram terkenal banget ya di sekolah?” Siwi terheran-heran.
 
    “Loh, gimana si, Wi? Katanya lo udah kenal? Nih ya, gue kasih tau. Bram itu anaknya Immanuel Dirk, orang terkaya di kota kita.
 
    Sebelum Bram masuk ke sekolah ini juga orang tuanya udah jadi penyumbang tetap di SMA Nusantara, soalnya papa Bram itu temennya Pak Kepsek,” terang salah satu siswi.
 
    “Apalagi Bram anak semata wayang, pasti semua yang dia mau selalu diturutin sama bokapnya,” imbuh siswi yang lain.
 
    “Hmmm berarti bener dong ledekan gue buat dia,” ujar Siwi.
 
    “Ledekan?” tanya teman-temannya penasaran.
 
    “Iya, minggu lalu gue sempet ledekin dia pake sebutan Abrakadabra. Abisnya gue tanya nama panggilan dia apa, dia diem aja. Yaudah gue plesetin aja,” jelas Siwi.
 
    “Haha parah lo, Wi.” sahut teman Siwi yang duduk di sebelahnya. Yang lainnya ikut tertawa geli.
 
    “Tapi bener kan? Saking kaya rayanya, dia bisa dapetin apa aja yang dia mau. Ibarat penyihir, tinggal bilang abrakadabra terus muncul deh, apa yang dia mau.” Timpal Siwi.
 
    “Iya juga sih,” jawab teman-temannya bersautan.
 
    Setelah Siwi dan teman-temannya menghentikan obrolan, aku bergegas kembali ke kelasku. Selera makanku lenyap seketika usai mendengar perbincangan mereka. Andai saja perkataan Siwi benar, bahwa hidupku semudah mengucapkan mantra abrakadabra, mungkin aku tidak akan pernah merasakan sedih. Karena pada kenyataannya, uang mampu digunakan untuk membeli barang, namun tidak bisa membeli kebahagiaan. Uang bisa digunakan untuk membeli ranjang, tapi tidak bisa membeli tidur yang nyenyak. Uang juga bisa digunakan untuk membeli rumah, tapi tidak bisa membeli keluarga.
 
    Aku memang bisa membeli barang apapun yang ku mau. Namun dibalik itu semua, mereka tak pernah tau ada luka yang selalu ku pendam seorang diri. Sepi senantiasa menyelimuti hidupku. Sejak kecil, aku hidup ditemani seorang baby sitter. Mama dan Papa sibuk mengurus berbagai proyek perusahaan yang mereka dirikan bersama. Tak pernah ada liburan keluarga, bahkan sekadar pergi jalan-jalan ke taman pun tidak sama sekali. Yang ada di benak mereka hanya mencari uang, uang dan uang. 
    Namun aku selalu berusaha berpikir positif, toh mereka mencari nafkah untuk kebutuhanku juga.
Hingga akhirnya, Mama pergi meninggalkan aku dan Papa dua tahun lalu akibat serangan jantung. 
 
    Menjadi anak semata wayang saja sudah cukup membuatku merasa kesepian, ditambah harus kehilangan sosok Mama, rasa sepiku pun semakin bertambah. Sejak Mama pergi, Papa jarang sekali pulang ke rumah. Waktunya beliau habiskan di kantor dan ke luar negeri untuk menghadiri berbagai pertemuan penting dengan kolega nya. Beberapa waktu lalu aku sempat memintanya pulang di hari ulang tahunku, namun nihil.
 
    Papa sedang sibuk membuat proposal untuk proyek barunya. Sebagai gantinya, papa menyewa jasa event organizer untuk membuatkanku pesta sweet seventeen dan membelikanku mobil Camry hitam keluaran terbaru sebagai kado.
 
    Malam yang dinanti tiba, pesta sudah berjalan setengah acara. Berbagai makanan dan minuman tertata rapi di beberapa meja bundar yang diletakkan di pinggir kolam renang. Cahaya lampu berkelap-kelip menerangi gelapnya malam, membuat suasana semakin meriah. Tepat di atas kolam renang, berdiri panggung kecil yang didesain sebagai tempat pentas para anggota band yang turut memeriahkan acara pesta malam ini. Lantunan musik jazz yang mereka bawakan menambah kesyahduan di tengah dinginnya malam.
 
    Malam semakin larut, tamu semakin ramai. Lelah rasanya aku menyalami setiap tamu yang datang. Bibirku sudah tak sangup lagi diajak berbasa-basi memberikan senyuman. Ku putuskan untuk istirahat sejenak di kamar, berharap bisa mengembalikan energiku yang mulai habis terkuras. Bahkan di tengah keramaian sekalipun aku masih bisa merasakan kesepian. Mama, Papa, mengapa sulit sekali untuk mendapatkan waktu berkumpul bersama kalian?
 
    Mengapa uang yang kita miliki, yang selama ini menjadi dambaan orang lain, justru dia yang membuat kita semakin jauh?
 
    Andai mantra abrakadabra bisa mengembalikan Mama ke dunia, aku akan memaksanya untuk menghabiskan waktu bersamaku, tak peduli sekuat apa dia menolak. Begitupun dengan Papa, andai mantra abrakadabra bisa membuat pekerjaannya selesai dengan sendirinya, pasti akan ada banyak waktu yang bisa dia habiskan bersamaku. Namun sayangnya, uang yang banyak tidak menjadikan aku bisa melakukan segalanya semudah mengucapkan abrakadabra.
Diberdayakan oleh Blogger.