Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Masa SMA - Nisa Habibah Ramadhani

Sumber foto : Pixabay
Panggil saja aku Bunga, aku anak SMA di salah satu sekolah di kotaku. Aku anak pemalu dan tidak percaya diri, rasanya sulit untuk membuat teman baru dan mengekspresikan diriku di depan orang lain. Mungkin itu juga karena masa laluku. Ketika SD aku sekolah di sebuah sekolah swasta, aku pernah semacam dibully oleh temanku. Dalam bahasa kami dulu menyebutnya “geng-geng an” atau “bos-bos an”, salah satu temanku seperti menjadi ketua geng dan semua orang di kelas harus patuh padanya. Dan aku pernah menjadi sasaran bully- annya, dijambak, dicubit, bahkan dimusuhi, satu kelas tidak boleh ada yang berteman denganku.

Saat kelas 2 ibuku meninggal, aku sedih tapi masih belum paham apa-apa. Dan ayahku menikah lagi dengan seorang wanita pilihannya. Ibu tiriku ini baik, bukan ibu tiri kejam seperti di film-film. Tetapi menurutku ibuku ini tegas, jika menurutnya tidak benar ia akan langsung mengatakan itu. Orangtuaku adalah “orang zaman dulu” yang sepertinya belum paham masalah parenting, kesehatan mental dan lainnya. Jadi menurutku mereka kurang bisa memahami keadaanku, mengajari cara mengelola emosi, kepercayaan diri dan lainnya. Yah mungkin itulah penyebab bagaimana kepribadianku sekarang.

Oke, kembali ke masa SMA ku. Masa SMA bagi banyak orang adalah masa terindah, tapi tak tau denganku. Saat awal masuk sekolah aku sangat pemalu, tak berani berkenalan dengan orang, tetapi perlahan-lahan aku berbaur dengan mereka. Di kelasku terdapat 24 perempuan dan 12 laki laki. Aku mempunyai teman yang cukup dekat denganku, Vika namanya. Dia adalah anak rantau, berasal dari pulau Sulawesi tapi. Aku bisa dekat dengannya karena rumah kami berdekatan dan dia juga belum berani naik kendaraan sendiri di kota yang masih asing baginya. Sehingga dia sering menawarkanku untuk berangkat dan pulang sekolah bersamanya. Tetapi aku pemalu, ketika kami sedang berdua aku jarang ngobrol dengannya, seperti tak punya topik pembicaraan untuk dibahas. Kadang aku merasakan ada tembok yang menghalangiku untuk berbicara dengan orang lain. Seperti ada tingkatan kelas, aku merasa berkecil hati karena aku merasa ada bagian bawah yang pantasnya bergaul dengan orang - orang pendiam, tidak pantas bergaul dengan mereka anak “hitz” dikelas. Aku biasanya pergi ke kantin atau ke masjid bersama beberapa temanku termasuk Vika. Dan ya, aku berusaha untuk bersosialisasi dan berusaha melewati tembok penghalang itu.

Saat itu pelajaran bahasa Jawa yang mengharuskan kerja kelompok. Pembagian kelompoknya bebas sehingga dapat memilih anggota kelompoknya sendiri, aku menunggu temanku menyebut namaku untuk diajak masuk kelompoknya. Tapi temanku tak kunjung ada yang menyebut namaku. Hingga akhirnya aku masuk di kelompok terakhir, kelompok sisa, buangan ya begitulah, kadang hal-hal kecil bisa membuatku semakin berkecil hati. Tetapi kadang aku selalu berusaha berpikir positif dan tetap saja aku tak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikiranku, terus ku pendam hingga entah kapan.

Vika perlahan mulai dekat dengan orang lain, Rita. Aku tak masalah karena bebas berteman dengan siapa saja bukan ? Aku juga tidak punya hak untuk mengatur dia harus selalu bersamaku. Tapi lagi-lagi aku berkecil hati seakan dia tak mau lagi bersamaku dan lebih memilih bersama Rita. Dia seperti lebih senang mengobrol dengan Rita daripada aku.

Suatu ketika aku menerima pesan dari Rita, dia berkata jika ia telah berani untuk naik kendaraan sendiri dan tidak bersamaku untuk ke sekolah. Ya tidak apa karena memang dia yang meminta diawal dan aku juga tidak enak menumpangnya terus. Sejak itu rasanya aku semakin jauh dengan Vika dan dia semakin dekat dengan Rita.

Berita Virus Corona muncul dimana mana dan jumlahnya terus bertambah. Pemerintah menetapkan aturan untuk bekerja dan belajar dari rumah. Kami lalu tidak dapat bertemu satu sama lain, sebenarnya bisa tapi entah mengapa aku tak mau. Malas rasanya untuk keluar rumah ditambah aku yang harus mengeluarkan uang lebih untuk ojek online. Karena aku belum bisa mengendarai kendaraan sendiri.

Masa awal sekolah online aku cukup bisa beradaptasi dengan keadaan. Tetapi makin lama aku bosan dengan sekolah online dan hanya dirumah saja. Kalau di sekolah orang lain, sekolah online tugasnya lebih banyak, tidak dengan sekolahku ini. Guru hanya memberi tugas sedikit, bahkan lebih sering jam kosong tidak ada pelajaran. Materi pelajaran juga tidak bisa kupahami, semangat belajarku menurun, orang tua sibuk bekerja, tak ada satupun teman yang menghubungiku. Jika aku tidak menghubungi mereka lebih dulu aku bisa tidak berkomunikasi dengan mereka, rasanya tidak ada yang peduli padaku. Aku berpikir setidak penting itukah aku ? Hampir tiap malam aku menangis, apakah mereka benar-benar tidak peduli padaku? Mereka tidak menunjukkan sikap marah padaku tapi mengapa mereka tidak
peduli padaku ?

Tiba waktunya aku naik kelas 12, semuanya mulai terlihat aku melewatkan masa SMA. Teman-temanku dulu yang bersamaku sudah mempunyai “bestie” nya masing-masing, tidak denganku. Aku tetap memiliki teman yang baik denganku, tapi tidak sedekat itu juga.

Beberapa kali temanku sekelas berencana untuk berlibur bersama, sebenarnya aku ingin sekali ikut. Tapi lagi-lagi aku tak bisa, bagaimana nanti aku disana ? Apakah aku bisa berinteraksi dengan mereka ? Tidak sepenuhnya masa SMA ku ini buruk ada, hal indah yang juga kualami. Aku terkadang menyalahkan diriku karena menyia-nyiakan masa SMA, yang membuatku seperti pasrah dan tidak bisa bangkit dari hal itu. Lagi-lagi aku berpikir apakah ini semua karna masa kecilku itu ? Aku belum pernah pergi ke psikolog, psikiater atau guru BK untuk berkonsultasi masalah pribadi. Rasanya masalahku ini terlalu kekanak-kanakan, aku hanya perlu percaya diri dan mengatakannya sehingga ini semua tidak perlu terjadi. Tapi nyatanya, bagiku itu semua tidak mudah. Sekarang kami semua sudah lulus dan hampir tidak ada kabar, mungkin suatu hari aku akan mengatakan ini pada mereka dan meminta maaf.

Baca Juga Cerpen Lainnya :

Diberdayakan oleh Blogger.
close