Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Dari Aku Untuk Kamu - Amitha Hidayanti

Cerpen Dari Aku Untuk Kamu
Aku melangkahkan kakiku dengan santai disebuah koridor yang sedikit hening. Memang sudah waktunya masuk jam pelajaran pertama, dan aku saat ini sudah terlambat.

Kuketuk pintu kelas XII - IPA 1 itu dengan pelan, lalu membukanya. Membuat semua pandangan penghuni yang ada dikelas tersebut tertuju padaku. Begitu pula dengan Guru yang sedang mengajar dikelas.

"Jenan, kamu terlambat lagi." ucap Guru tersebut dengan nada tak suka. Aku membungkuk pelan
sebagai tanda permintaan maaf.

"Apalagi yang membuat kamu terlambat?" tanya Guru. Aku memandangnya dengan tenang, sesekali
membasahi bibirku dengan lidah.

"Hari ini hari ketiga Ibu saya cuci darah, bu." jawabku jujur. Memang Ibuku sedang melakukan cuci darah selama 3x dalam sebulan.

Mengenai penyakit, Ibu mengidap penyakit CKD atau orang orang sering mengenalnya dengan penyakit gagal ginjal kronis. Semenjak Ayah pergi dan tidak ada di kehidupan ku dan juga Ibu, Ibu harus membanting tulang untuk bertahan hidup juga untuk pendidikanku. Dulu aku sempat ingin berhenti sekolah, namun karena aku sudah berada dikelas akhir Ibu menolak. Aku ingin saja bekerja menjadi apapun asal Ibu bisa tenang dan santai santai dirumah. Apalagi Aku anak laki - laki. Masa Ibu tetap bekerja, rasanya tidak etis saja dilihat.

Guru akhirnya mengizinkanku duduk ditempatku setelah ia berdecak sebal akibat waktu ajarnya terganggu. Aku pun duduk sampai akhirnya aku menyadari bahwa ada seseorang yang duduk
disampingku. Biasa tidak pernah, semua murid disini menjauhiku dan takut padaku hanya karena aku
terlihat seperti preman yang akan memalak orang orang lemah. Meski nyatanya tidak begitu.

Anak yang berada disampingku sepertinya anak baru. Karena aku baru hari ini melihatnya. Aku
menatapnya sekilas, kulihat dia menatapku sedari tadi dan tersenyum. Aneh, apakah anak ini tidak takut
denganku?

Tak berapa lama istirahat pun tiba. Semua pergi kekantin bersama teman - teman mereka. Tinggallah
aku sendiri. Oh tidak, aku tidak sendiri. Melainkan berdua dengan anak baru itu.

"Kamu engga ke kantin?" tanya nya memecahkan keheningan diantara kami berdua.

Aku menoleh, lalu menggeleng. Lagi-lagi ia tersenyum. Ia mendekatiku, sedangkan aku hanya menatapnya sambil menaikkan sebelah alis.

"Revan." ujarnya sambil mengulurkan tangannya kepadaku. Tidak enak karena ia sudah duluan
memperkenalkan dirinya, aku pun membalas ulurannya dan memperkenalkan diri kembali. "Jenan."

Revan terkekeh, lalu ia menggaruk tengkuknya. Aku yang menatapnya tidak nyaman itu hanya menatapnya heran.

"Kenapa?" tanyaku.

Em, kupikir awalnya aku takut untuk kenalan dengan kamu. Karena kata anak-anak tadi, teman sebangku ku seorang preman, anak yang paling ditakuti disekolah. Tapi sekarang rasanya kamu enggak
seperti apa yang mereka bicarakan.

Aku hanya bisa mendengus. Namun tak berapa lama ikut terkekeh juga. Ia menatapku dengan sedikit
terkejut, lalu ia pun juga ikut tertawa.

"Terkadang, manusia suka melebih-lebihkan berita dari fakta yang ada." ucapku seadanya. Revan
mengangguk setuju.

"Aku enggak seburuk apa yang orang bilang, bahkan aku enggak pernah malak anak orang untuk
kepuasan diriku sendiri. Mereka berspekulasi begitu karena hanya melihat tampang ku yang seperti
ingin ngajak berantem." Revan mendengarkan, dan setelah itu ia tertawa. Akupun ikut tertawa. Rasanya asik juga punya teman sebangku, punya teman yang bisa diajak bercanda dan bercerita. Ternyata, begini rasanya punya seorang teman.

Selang berapa lamanya aku dan Revan berkenalan, hampir 2 bulan lamanya kami sangat dekat. Bahkan
semenjak kehadiran Revan, teman temanku yang lain sudah tidak takut lagi denganku, meski ada sebagian anak yang masih enggan dan sungkan menyapaku karena masih belum yakin. Tapi tidak
masalah, setidaknya ini sudah cukup baik dari sebelumnya.

Revan juga beberapa kali mengajakku kerumahnya. Rumahnya cukup besar dan mewah. Berbeda
dengan rumahku yang hanya sepetak rumah kontrakan kecil. Terkadang aku sedikit tidak percaya diri
saat berada dirumah Revan, tapi Revan sering marah jika aku selalu merasa begitu.

"Ibu dan Ayah jarang dirumah. Aku selalu sendiri dirumah dan itu sepi banget rasanya." lirih Revan saat kami sedang berada dimeja makan.

"Kamu engga punya adik atau kakak gitu?" Tanyaku yang kebetulan juga anak tunggal. Revan
menggeleng, lalu menjawab, "Aku anak satu satunya."

"Kita sama berarti."

Dan begitulah hari hari yang ku lalui saat mengenal dan berteman dengan Revan. Sempat ku ceritakan
pada ibu tentang Revan, dan benar saja raut wajah ibu sedikit cerah begitu mendengar anaknya yang
menakutkan makhluk lain ini akhirnya memiliki teman. Meski hanya satu.

Tak terasa libur semester telah tiba. Revan dan juga keluarganya sudah berjanji untuk mengajakku
berliburan bersama. Awalnya aku tidak ingin, tapi mendadak Revan datang kerumahku dan meminta izin pada Ibuku.

"Saya izin ajak Jenan liburan bareng keluarga saya ya Tante. Enggak lama kok, cuma 5 hari doang.
Berhubung Ibu saya bikin villa baru ditempat wisata, boleh ya Tante?" Aku terkejut begitu Ibu dengan enaknya mengizinkannya. Itu membuatku khawatir untuk meninggalkan Ibu. Pasalnya Ibu sedang dalam kondisi tidak sehat, dan pikiran buruk saat aku pergi sudah menjalar di otakku.

"Ibu kalo kenapa kenapa jangan lupa telfon Jenan, ya. Jenan khawatir." lirihku saat aku akan pergi dan
Revan menungguku di motornya.

Ibu mengelus pipiku pelan dan tersenyum. Meski wajahnya yang sudah tua, senyum manisnya itu tidak
pernah luntur. Membuatku semakin tidak bisa pergi dari ibu.

"Hati - hati disana. Jangan terlalu menyusahkan keluarganya nak Revan. Sholat jangan ditinggal." Itulah pesan ibu saat aku pergi.

Aku sedikit terkejut karena aku akan pergi berdua dengan Revan yang mengemudi mobilnya. Katanya
orang tuanya sudah pergi sehari sebelum kami pergi. Aku tidak ingin banyak protes, karna diajak saja
aku sudah bersyukur.

"Kamu enggak mabuk perjalanan kan?" tanya Revan sambil memecah keheningan didalam mobil. Aku menggeleng. "Dulu aku sering pulang kampung naik mobil bareng Ayah Ibu. Saking seringnya makanya aku enggak mabuk dan udah terbiasa dijalanan berliku seperti ini. Tapi sekarang,"
Ucapanku berhenti. Tapi Revan dengan setia menunggu kelanjutan ceritaku. "Aku udah engga pernah pergi pulang kampung naik mobil lagi. Setelah Ayah pergi tinggalkan aku dan Ibu tanpa penjelasan dan surat cerai yang sudah ditaruh di atas meja makan."

"Ayah kamu pergi begitu aja? kenapa bisa?"

Sebenarnya aku enggan untuk menceritakan ini ke Revan. Tapi berhubung aku sudah cukup lama
berteman dengannya, akhirnya aku pun menceritakan semuanya.

Sambil mengemudi, Revan tetap setia mendengarkan ceritaku. Bahkan dalam keadaan emosi pun Revan tetap diam dan tidak mengusikku sampai aku selesai bercerita.

"Ayah pergi karena dia menemukan wanita baru yang jauh lebih kaya dari Ibu. Dan juga karena Ibu udah sakit sakitan." Kudengar Revan memukul alat setirnya. Membuatku sedikit terperanjat kaget.

"Ayah apaan itu?! Dasar enggak bertanggungjawab!" kesalnya. Namun setelah itu ia menutup mulutnya
dan meringis.

"Jenan. Aku engga bermaksud, tapi mendengarnya aja udah emosi. Apalagi kamu yang merasakannya."

Aku tersenyum. Lalu menepuk pundak Revan tenang agar ia tidak emosi lagi. Wajar sih, aku pun juga
tidak tersinggung saat Revan mengatakan hal seperti itu mengenai Ayah. Butuh waktu yang lama hingga akhirnya kami sampai di Villa keluarga Revan. Sangat mewah dan berkelas. Keluarga Revan memang termasuk keluarga yang mapan. Lebih dari mapan tepatnya.

Setelah mengambil koper yang ada di bagasi mobil, aku membuntuti Revan yang berjalan masuk ke
dalam Villa tersebut. Deg degan rasanya. Sampai akhirnya Ibu Revan datang menyapaku.

"Halo, kamu temannya Revan ya?" Aku ingin tersenyum dan membalas ucapan dari Ibunya Revan, namun seketika tubuhku menegang begitu melihat pria yang ia gandeng saat ini.
Revan merangkul ku dan memperkenalkan kedua orangtuanya. Kulihat Revan dan Ibunya sangat bahagia begitu hidup bersama pria itu.

"Jenan, ini Ibu ku dan juga Ayah ku. Mereka dari kemarin tidak sabar untuk ngobrol bareng kamu."

Aku hanya diam tak bergeming. Ingin rasanya teriak atau kalau bisa menikam secara ganas si pria yang
ternyata Ayahku.

"Ayah kandungmu?" tanyaku dengan suara pelan. Revan menatapku bingung, namun masih bisa
tersenyum untuk kembali menjelaskan.

"Ayah kandungku sudah lama meninggal karena pekerjaannya sebagai masinis. Saat aku kelas 7 SMP Ibu bertemu dengan pria baik dan menikah. Dan dia adalah Ayah yang paling baik. Bahkan aku lupa kalau dia adalah Ayah tiriku."

Dadaku bertambah sesak mendengarnya. Ingin marah, tapi percuma. Aku menunduk, kurasakan Revan
mengguncang bahuku pelan dan bertanya ada apa kepadaku. Begitu pula dengan Ibunya. Sedangkan
pria itu hanya diam, mungkin masih shock begitu melihatku menjadi teman anak tirinya.

"Tapi dia Ayah kandungku." Revan, Ibunya, bahkan Ayah terkejut mendengar pengakuanku. Mendadak kulihat Revan mundur beberapa langkah, sedangkan Ibunya menatapku tak percaya.

"Dan dia Ayah yang tidak bertanggungjawab yang kamu maki di mobil saat itu."

"Bohong," aku menoleh begitu Ibu Revan menudingku berbohong. Ia masih tidak percaya dan tanpa
disadari ia menamparku.

"Mas Eko sendiri mengaku ia belum pernah berkeluarga, apalagi mempunyai anak! Jangan bohong
kamu!" teriaknya.

"Kalo Tante engga percaya, bisa tanyakan langsung pada orangnya." ujarku dingin.

Ibu Revan menghampiri ayah, lalu mengguncang lengannya dengan kasar. Sedangkan Revan tetap diam
dan tidak bergeming.

"Mas Eko, yang dibilang anak ini apa benar?" tanya ibu Revan yang kudengar suaranya cukup bergetar.

Ayah diam, aku menatapnya dengan tenang, meski hati ini sangat sakit melihatnya.

"Aku tidak pernah punya anak."

Reflek aku terkejut mendengar ucapan Ayah barusan. Membuat ibu Revan semakin emosi dan kembali
menamparku. Lagi lagi ia berteriak padaku dan ini sangat menyesak untuk didengar.

"Pembohong!"

Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis. Bahkan tidak memaki Ayah didepan keluarga
bahagianya. Aku hanya tersenyum kecut dan meringis.

"Kalo begitu berarti ayahku sudah mati ternyata."

Aku kembali mengangkat tas dan koperku. Membungkuk kepada ibu Revan juga Ayah, lebih tepatnya
kepada Ayah Revan.

"Sepertinya ada waktu yang harus saya selesaikan di rumah. Dan saya lupa. Jadi saya minta maaf karena tidak bisa berlibur bersama semuanya. Permisi."

Dengan cepat kulangkahkan kakiku keluar Villa dan dengan nafas terengah engah juga perasaan
berkecamuk. Kesal, marah, rindu , kecewa , semua bercampur menjadi satu. Begitu sampai diujung
halaman Villa, aku memukul dadaku karena sangat sakit rasanya.

"Jenan!" kudengar Revan memanggilku. Ingin kembali berlari rasanya tapi dengan cepat Revan datang
dan menahanku. Mungkin terbawa emosi, aku meninju Revan. Membuatnya terhuyung sedikit ke belakang. Aku terduduk dan sudah tidak ditahan lagi aku menangis.

"Aku tau kamu engga berbohong." ujarnya pelan. Ia mengusap pelan punggungku, tapi aku menepisnya.

"Aku benci kamu." Hening. Baik aku maupun Revan tidak ada yang membuka obrolan lagi. Kutatap Revan tajam, dengan tatapan seolah olah Revan adalah musuh dalam selimut.

"Kehadiran ibu kamu membuat ayah berpaling dari keluarganya yang sesungguhnya. Ku akui Ibu kamu
punya segalanya, parasnya pun lebih berkelas dibandingkan ibuku. Tapi kamu ngerti engga selama
berapa tahun ini apa yang Ibuku rasain? Cuma sakit dan Ayah yang kamu bangga-banggakan itu bahkan
engga menyadarinya!"

Aku berdiri. Dan kembali menepis tangan Revan kala ia ingin membantuku berdiri. Aku mengalihkan
pandanganku padanya. 

"Bahkan sejak ibu mengenalkan Ayahmu padaku ia berkata bahwa ayahmu masi pria sendiri. Belum
beristri," Revan menunduk, begitu juga denganku yang hanya diam mendengarkan.

"Aku juga kecewa melihat kenyataan yang ada. Tidak begitu percaya dengan sifat gelap pria itu yang rela meninggalkan istri dan juga anaknya demi wanita baru."

"Sekarang kamu sudah tau. Lalu apa yang akan kamu lakukan?" ujarku dingin membuat Revan terkesiap.

Revan menunduk pelan dan menggeleng seolah mengatakan bahwa ia tidak tahu apa yang harus ia
lakukan.

"Jangan sampai kamu berantem dengan ibu mu karena ini. Cukup berbahagialah kalian dengan pria yang kalian bilang baik hati itu."

Aku pergi meninggalkan Villa itu dan juga Revan. Aku kembali pulang menggunakan bus angkutan.
Sesampainya dirumah Ibu terkejut dan bertanya mengapa tidak jadi berlibur. Aku hanya mengatakan
aku rindu padanya membuat Ibu tersipu dan memelukku.

Aku masuk kekamar dan kembali menangis dalam diam. Tidak ada sedikit pun suara yang ku keluarkan. Agar ibu tidak mendengar nya dan tidak terlihat cemas. Aku memukul mukul kepalaku dan juga mencekik leherku dengan sangat kuat. Meninggalkan sisa bekas kemerahan juga goresan kuku.

Tiba - tiba ibu mendobrak pintu kamarku dan memelukku sambil menangis. Ia terlihat begitu panik
melihatku mendadak berteriak tidak jelas. Tidak hanya itu, tanpa ku sadari aku ternyata telah menggoreskan lenganku niat untuk memutuskan nadi. begitu banyak darah yang keluar dan juga tersisa
di pisau cutter.

"Jangan lakukan ini lagi. Ibu tidak suka, ibu sedih melihatnya." Bisik ibu sambil mencium pipiku. Aku menyesal dan memeluk ibu dengan erat. Apa yang telah ku lakukan. Mencoba bunuh diri? Oh yang benar saja. Jika aku mati, bagaimana dengan ibu? siapa yang akan menemaninya, merawatnya,
membantunya, bahkan membuatnya bahagia selain aku? Aku merasa sudah seperti anak durhaka
sekarang.

"Bu, Jenan minta maaf,"; lirihku dengan suara serak. Ibu mengelus kepalaku pelan. Mencium kedua pipiku dan kembali memeluk.

"Apa yang terjadi? Apa ada sesuatu yang menbuat anak ibu frustasi? Siapa berani melakukan itu?" tanya Ibu mendesak. Aku menggeleng pelan. Saat ini aku hanya ingin seperti ini. Memeluk dan merasakan debaran dari Ibu.

Seharusnya aku tidak perlu ikut dengan Revan, seharusnya Ibu tidak usah mengizinkannya , seharusnya
aku tidak perlu melihat Ayah lagi. Dan jika aku tau, seharus aku tidak perlu berteman dengan Revan
begitu tau ia adalah anak tiri ayahku.

3 Minggu setelah kejadian itu sekolah kembali dimulai. Tidak ada yang aneh. Bedanya aku hanya
menjauh dari Revan bahkan tidak duduk sebangku lagi dengannya. Banyak yang bertanya apa yang
terjadi antara aku dan Revan tapi aku tidak peduli.

Hari hari berjalan seperti biasa hingga aku mendapat kabar hari ini jika Ibu didalam ruangan gawat
darurat karena penyakitnya sudah fatal. Ibu pingsan didepan rumah begitu kata tetanggaku.

"Siapa yang membawa Ibu kerumah sakit?" Tanyaku kepada salah satu tetanggaku. Mereka menjawab
ada satu pria berbaju layaknya manager kantoran yang membawanya. Awalnya pria itu hanya ingin
bertamu. Setelah itu Ibu jatuh pingsan.

Aku segera pergi kerumah sakit sampai akhirnya aku melihat Ayah diruang tunggu. Bersama Istrinya, ibu Revan. Aku tidak mengusik kehadiran mereka. Ayah menghampiriku dan memelukku erat. Pelukan ini tidak pernah terasa lagi setelah lama terkubur. Aku menangis dan dengan penuh emosi menarik diri dan memukul Ayah sendiri.

"Apa?!" Bentakku. Tidak peduli bagaimana orang orang disana melihat. Ayah menunduk diam, aku tau ia menangis. Tapi aku tidak yakin ia tulus akan tangisannya.

"Kenapa kesini?" tanyaku dingin sedingin mungkin. Ayah tidak menjawab, ia kembali mendekat dan
menarik tanganku dan memperhatikan bekas goresan goresan lama yang sulit hilang. Lalu Ayah
menatap mataku dalam. Membuatku semakin sulit menahan emosi.

Ayah menangis. Kali ini sangat keras. Ia menangis sambil menyebut namaku. Kulihat sekilas Ibu Revan
juga menangis. Aku tidak tau yang jelas melihat ini kembali membuatku sulit untuk menahan air mata.

"Jenan, ayah begitu jahat, memang tidak pantas untuk dimaafkan." Aku mengusap kepalaku pelan. Aku hanya menunduk karena sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Revan menjelaskan semua. Bahkan dengan kondisi Ibumu yang sudah dibilang mengenaskan kalian
tetap masih bisa menyimpan luka tanpa jejak." kali ini Ibu Revan yang angkat suara.

Ibu Revan mengatakan bahwa ia marah atas perbuatan Ayah. Bahkan ia mengancam akan kabur dari
rumah jika Ayah tidak ingin jujur. Akhirnya Ayah jujur dan meminta maaf kepada Ibu Revan dan juga
Revan. Ibu Revan meminta gugatan cerai tapi Ayah tidak menyetujui. Sampai akhirnya mereka berakhir
mengunjungi Ibu yang sangat terkejut melihat kehadiran Ayah dengan wanita baru.

"Ibu kamu wanita hebat. Masih bisa tersenyum saat melihat mantan suaminya bersama wanita lain
mengunjungi rumahnya. Saya sudah bilang ingin meminta gugatan cerai dan Ayahmu akan menyetujui
nya jika Ibumu ikut setuju. Tapi tanpa disangka Ibumu sedikit kesal dan tidak setuju kami berpisah. Ia
malah memikirkan perasaan Revan. Takut situasinya akan sama denganmu dulu."

Tak kuasa menahan tangisnya, Ibu Revan menangis. Begitu saat Revan datang entah darimana.
Tiba - tiba Ayah bersujud di kaki ku. Aku terkesiap karena itu. Ia selalu melontarkan permintaan maaf
dan sangat menyesal karena telah meninggalkan kami. Apalagi saat melihat kondisi Ibu yang kata dokter sudah tidak lama lagi.

"Maafkan Ayah, tolong jangan benci dengan Ayah. Ayah janji tidak akan mengulangi hal yang sama dan tidak akan membiarkanmu lagi, Jenan."

Setelah itu dokter keluar dari ruangan ibu dan mengatakan ibu sudah tiada. Aku menangis sejadi
jadinya. Memeluk ayah yang juga saat ini menangis. Tapi sebelum masuk keruangan Ibu, dokter
memberikan selembar kertas berisikan pesan terakhir dari Ibu. Aku membacanya berdua dengan ayah. Begini isinya :

"Untuk Jenan, anakku. Tetap semangat menjalani rintangan hidup. Jangan pernah sesekali mencoba
untuk mengakhir hidupmu. Hiduplah demi Ibu. Capai cita citamu demi kebahagiaan Ibu. Dan seberapa
bejatnya Ayah jangan pernah membencinya, karena bagaimanapun beliau adalah Ayahmu , darah
dagingnya ada padamu, Nak." "Maafkan Ibu karena pergi tinggalkan kamu sendiri. Tapi setidaknya kamu tidak perlu repot lagi untuk libur sekolah karena Ibu, Ibu sudah tidak menyusahkan kamu lagi. Ibu harap kamu bisa lulus dengan nilai yang memuaskan."

Untuk mas Eko tolong biarkan Jenan tinggal bersama keluargamu. Aku gamau Jenan hidup sendiri.
Bagaimanapun kamu harus bertanggungjawab sampai Jenan sukses. Hanya itu syarat agar aku bisa
memaafkan semua kesalahanmu dulu.

"Jenan anakku, jangan membenci istri ayahmu. Dia wanita baik, begitu juga dengan Revan. Kalian
berteman dengan baik. Akurlah saat menjadi saudara nanti."

Aku tidak menangis karena sedih. Aku menangis karena akhirnya Ibu tidak tersiksa lagi. Memang berat
ditinggal Ibu seperti ini, tapi aku berharap Ibu dapat tenang disana.

3 hari setelah pemakaman Ibu akhirnya aku pindah kerumah kediaman Revan. Masih sedikit tidak
menyangka aku akan sendiri tanpa Ibu, tapi terlalu larut dalam kesedihan tidak pula baik. Ayah menepat janjinya. Ia jauh lebih baik dariku. Terkadang diwaktu senggang ia selalu meminta maaf. Aku sedikit tidak enak hati mendengarnya. Bagaimanapun Ayah tetap harus dihormati.

Baca Juga :

Begitu pula dengan Ibu Revan yang kini menjadi Ibuku juga. Ia tidak pernah pilih kasih, bagiamana ia
menyayangi Revan begitu pula ia menyayangi ku. Kurasa kehidupan ku mulai membaik. Aku sudah keluar dari zona gelap kehidupan. Aku berhasil melewati rintangan hidup yang berat itu. Ingat, di dewasakan oleh keadaan sungguh tidak enak. Tapi untungnya itu membuat mental kita menjadi kuat untuk menghadapi masalah hidup selanjutnya. Rahasia tuhan tidak ada yang tahu. Seandainya aku tetap memutuskan untuk bunuh diri mungkin tidak akan seperti ini akhirnya. Bahkan makin memburuk kurasa. Tuhan itu sangat adil dan sangat sayang dengan makhluk nya. Dan mungkin aku bisa merasakan kasih sayang yang diberikan tuhan kepadaku. Usai kelulusan kelas akhir aku bergegas menuju pemakaman Ibu. Banyak yang ku ceritakan kepada Ibu. Bahkan aku memperlihatkan hasil raportku yang memuaskan. Aku tau Ibu pasti senang disana.

"Jenan," panggil Revan yang tiba tiba berada disampingku. Ia ikut mendoakan Ibu, lalu merangkul ku.

"Dulu aku sempat khawatir kalau kita engga bisa berteman lagi." Dapat kudengar suaranya yang sangat takut. Dan ia sudah berusaha membantu menyelesaikan masalah ini. Tapi sampai sekarang aku belum sempat berterima kasih padanya.

"Revan," panggil ku. Revan menoleh.

"Terimakasih." ucapku.

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya." Revan tersenyum, lalu ia mendorong pundak ku pelan.

Lalu kami pulang bersama. Tidak menyangka teman pertama ku dikelas menjadi saudaraku selamanya. Rahasia Tuhan tidak ada yang tahu. Dan kini baru kurasakan Tuhan itu sangat adil dan penyayang. Dapat kurasakan kasih sayang yang Tuhan berikan kepadaku. Hingga sekarang memulai dengan suasana keluarga yang baru, juga saudara baru.

When God said "This is from me, to you."

Kebahagiaan hidup dari Tuhanku, dan untuk diriku.

Diberdayakan oleh Blogger.
close