Aku, seorang gadis desa. Hidup bersama adik perempuanku, tanpa ayah, tanpa ibu.
Cacian, makian, adalah makanan sehari hariku. Namun tak pernah ku balas mereka, karena aku yakin, suatu saat nanti akan ada keajaiban yang mengubah segala sifat buruk mereka, aku yakin itu.
“Kak, Delima lapar...”
Kutatap manik Delima, adik perempuanku yang amat ku sayangi, tatapan sendunya bagaikan pisau yang menyayat hatiku, sakit sekali. Aku selalu berdoa, agar ia bahagia, aku begitu menyayanginya, sangat.
“Hari ini, Delima mau makan apa?”
“Apa saja, asal kakak ikut makan.”
Aku benar benar terbungkam dengan kata kata yang selalu Delima katakan, dia selalu memaksaku untuk ikut makan, walau dia pasti sangat lapar.
Ku acak rambut Delima, lalu meninggalkan dirinya untuk membelikan makanan, dan mencari alasan agar dia tidak memaksaku untuk makan bersamanya lagi, biarkan saja Delima kenyang, aku lebih sakit jika melihatnya menahan kelaparan.
Aku melewati kebun pisang milik seorang pria muda kaya raya yang terkenal di desa ini. Aku mengamati beberapa pohon yang telah ditumbuhi pisang. Ku rogoh saku celanaku, aku hanya menemukan sedikit uang koin, yang pastinya tak akan bisa membayar buah kesukaan Delima itu.
Aku berjalan lunglai menuju sebuah warung, disana aku melihat anak anak seusia Delima yang sedang makan dengan nikmatnya, andai saja itu adalah Delima, maka aku akan sangat merasa senang.
Ku hampiri wanita paruh baya pemilik warung tersebut. Wanita tersebut menatapku dengan tatapan tidak suka.
“Kau mau mengemis makanan lagi? Ck, aku tidak bisa, makanan itu untuk pembeli bukan untuk pengemis sepertimu.” Katanya sambil menunjuk diriku dengan dagunya.
“Aku bisa bekerja apapun disini. Sebagai imbalannya, aku meminta makanan.” ucapku sopan, lagi lagi dia memutar bola matanya.
“Huh, baiklah, kau bisa mencuci piring kotor di belakang,”
Aku tersenyum senang, dengan sesegera mungkin aku mengangguk dan berjalan menuju tempat cuci piring. Aku begitu berhati hati agar tidak memecahkan atau merusak alat alat makan itu. Namun sepertinya Dewi keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku.
Praang...
Seorang gadis yang kutahu bernama Ellena, anak dari Bibi pemilik warung ini sengaja menyenggol ku sampai sampai piring yang ku bawa terjatuh dan pecah.
“Ellena, piringnya pecah!”
“Ups, aku tidak sengaja," ucapnya sambil menatapku sinis dan pergi meninggalkan diriku.
Bibi pemilik warung datang menghampiri diriku dengan wajah merah, dan pasti aku akan dimarahi habis-habisan olehnya.
“Dasar! Sudah diberi pekerjaan, bukannya dikerjakan dengan baik malah sebaliknya, pergi kamu dari sini!” Bentaknya sambil mendorong tubuhku.
“Kau dipecat ya? Kasihan sekali.” ucap Ellena.
Aku tidak mengindahkan perkataan Elena. Ku langkahkan kakiku keluar dari warung itu. Hingga seseorang memanggilku dari belakang.
“Heei!!!”
Ku putar tubuhku untuk melihat siapa yang memanggilku, ternyata itu Pak Rino, tetanggaku.
“Adikmu ku temukan pingsan di ruang tamu, cepat ke sana, ambulance sebentar lagi datang.”
Aku terkejut, sangat. Wajahku memerah, mataku berlinang, aku tak sanggup melihat wajah Delima nanti. Aku berlari sekencang mungkin menuju rumahku, beberapa butir air turun dari langit, bertabrakan dengan rambutku, membuatku bertambah cemas.
Pak Rino berlari menuju diriku sambil menempelkan ponselnya ke telinganya, dia memanggil manggil namaku, namun aku tak mengindahkan panggilannya, di pikiran ku kini hanya ada nama 'Delima' adik perempuanku, yang amat ku sayangi.
Hingga sebuah tangan mencekal pergelangan tanganku.
“Adikmu sudah tidak ada, Michelle.”
Jderrr...
Hancur sudah semuanya, sekarang aku tak memiliki keluarga, semuanya pergi, meninggalkan luka serta sayatan di hatiku. Aku terduduk lemas. Apa tidak cukup diriku terluka ditinggal Ayah dan Bunda? Apa tidak cukup aku terluka karena cacian orang orang?
Ku lihat ke samping, Pak Rino sudah tidak ada, mungkin memang tak ada yang mau membantuku. Termasuk tetanggaku. Hatiku hancur, bagaikan beribu ribu pisau yang menusuk. Ku biarkan butiran butiran air hujan membasahi diriku, kuanggap dunia ikut menangis dan bersedih bersama diriku.
“Delimaa,” lirihku sambil bersandar di pohon.
“Ayah, Bunda, Michelle rindu...” aku menangis sejadi jadinya, tak peduli orang orang memandangiku jijik seperti memandangi orang gila.
Ku hapus butiran air mata yang membasahi pipiku, walau hujan tak kunjung reda, aku berlari menuju rumah, beberapa orang di sana memandangiku kasihan.
Ku tatap jenazah Delima, wajahnya pucat pasi karena darah sudah tak mengalir di tubuhnya, rona merah pipinya hilang, bibir nya yang berwarna merah muda berganti menjadi putih.
Aku berusaha untuk tidak menangis, aku tidak akan menunjukkan kerapuhan ku di depan Delima, tak akan. Aku berusaha tegar, walau sulit.
***
Ku letakkan satu tangkai bunga Lily kesukaan Delima di atas makamnya. Ku elus pelan batu nisan yang bertuliskan nama Delima.
“Kakak harap, kamu bahagia disana.” ucapku sebelum pergi meninggalkan makamnya.
Di perjalanan pulang, aku bertemu Ellena dan teman temannya. Mereka menatapku sinis. “Kasihan sekali ya anak ini.” ucap Ellena kepada teman temannya.
Aku tak mengindahkan semua perkataan mereka, lalu berlalu pergi meninggalkan mereka. Aku tak tahu harus bagaimana lagi, dan yang pasti aku akan tetap menyambung hidupku.
Aku berjalan menuju kamarku, menatap keluar jendela, menatap beberapa orang yang berlalu lalang, sebagian besar mereka pulang dari bekerja dan sekolah. Melihat banyak siswa siswi yang sekolah, aku jadi ingin merasakan bagaimana sekolah itu.
Ah, itu tidak mungkin. Bagaimana bisa aku sekolah, memberi makan Delima saja kadang aku tidak bisa.
Ku lihat langit yang semakin lama semakin gelap, hari gelap sebentar lagi datang menggantikan hari cerah, dan menemani setiap insan yang beristirahat setelah satu hari menjalankan aktivitas.
Ku tatap bintang, ku hitung bintang itu hanya ada empat bintang, tiga bintang berada berdekatan, yang satu berada lebih jauh. Dan aku membayangkan, tiga bintang tersebut adalah Ayah, Bunda, dan Delima. Dan yang satu lagi adalah diriku.
Walau berada berjauhan dari tiga bintang yang lain, yang pasti mereka berada dalam satu langit. Sama seperti aku dan keluargaku, walau sekarang berada jauh. Tapi, hatiku tetap satu untuk mereka.
***
Hari gelap berganti dengan hari cerah, matahari menyinari bumi memberikan semangat kepada manusia yang akan menjalankan aktivitas di hari ini. Embun pagi membuatku merasa segar, aroma pagi yang bercampur dengan aroma tanah membuatku sangat semangat.
Aku berjalan sambil memasang senyuman. Hingga seorang pria menghampiriku, ia memberikan senyumannya kepadaku. Aku benar benar terpana dengan wajah tampan yang ia punya.
Ia mengulurkan tangannya, mengajakku untuk bersalaman.
“Namaku Christof, siapa namamu?”
Ku sambut uluran tangannya. Lalu membalas senyumannya.
“Aku Michelle,” jawabku seperlunya.
Ia mengajakku untuk duduk di kursi dekat taman bunga.
“Ku dengar, kau punya bakat menyanyi?” tanya Christof membuatku mengernyitkan dahi bingung.
“Kau dengar dari siapa?”
“Eum, tadi aku tidak sengaja mendengarmu bersenandung. Ngomong ngomong, kamu memiliki suara yang merdu.” ucapnya membuatku salah tingkah, baru kali ini ada orang yang mengagumiku seperti itu.
“Eh, suaraku tidak begitu bagus menurutku.”
“Ah, kau terlalu sombong. Jelas jelas kau memiliki suara yang merdu, Michelle. Dan kudengar ada lomba mencari bakat menyanyi, apa kau mau ikut?”
“Tapi aku tidak memiliki biaya untuk lomba tersebut.”
“Tenang saja, aku bisa mengurusi itu semua. Apa kau masih punya keluarga?”
Aku menggeleng sambil menunduk. Lalu mendongak melihat wajah sendunya.
“Ah, maafkan aku, Michelle”
“Tidak apa, Christof. Aku sudah ikhlas menerima semuanya.” ucapku sambil tersenyum.
“Jika kau mau, bakat mu itu bisa dikembangkan, Michelle. Dan aku yang akan mengurus semuanya.”
“Benarkah? Apa tidak memberatkan dirimu?”
Dia menggeleng, “Tentu saja tidak, jika membantu seseorang itu perbuatan baik, aku pasti tidak akan menolak melakukan perbuatan baik itu.”
Senyumanku kembali terbit, aku mengangguk setuju. Mungkin, dengan aku sukses nanti bisa membuat keluargaku senang dan bahagia serta bangga kepadaku.
***
Lomba menyanyi di selenggarakan di kota, beberapa hari sebelumnya aku telah berlatih seserius mungkin. Dan kini, aku akan menunjukkan kepada dunia. Bahwa aku, seorang gadis penuh luka juga berhak untuk bahagia.
“Peserta selanjutnya, Michelle Victoria!”
Aku menggenggam tangan Christof gugup. Ia menepuk bahuku menyalurkan semangat. Tatapannya seakan mengartikan ‘Kamu pasti bisa, Michelle’
Aku sudah berada di atas panggung, menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mataku, nada nada yang keluar dari alat musik ku hayati dengan baik.
Hingga saat aku membuka suara, aku merasa sedikit rileks. Ku bayangkan wajah Ayah, Bunda, dan Delima. Ku bayangkan, senyuman Delima yang selalu membuatku bersemangat.
Aku begitu tenang hingga lagu telah selesai, tepuk tangan dan sorakan membuatku sedikit lega. Aku kembali duduk di dekat Christof.
“Suaramu benar benar merdu, Michelle.” bisiknya.
Beberapa peserta telah menampilkan yang terbaik, dan kini adalah pengumuman hasil lomba.
“Untuk juara satu diraih oleh...
MICHELLE VICTORIA!!!”
Christof dan aku saling bertatapan, ia tersenyum bangga saat aku memberikan piala ke padanya. Aku benar-benar senang, aku tak pernah merasa se-bahagia ini.
Setelah aku menjuarai perlombaan tersebut, kini aku debut sebagai penyanyi di dunia entertainment. Telah ku buktikan kepada dunia, bahwa...
Aku, Michelle Victoria. Gadis penuh luka, yang sekarang merasakan bahagia. Terima kasih Tuhan, aku bahagia, sangat.