Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Bakwan Kawi - Amelisa Suci Purnamawati

Sumber foto : Pixabay

Beli Pakkk...!” Suara anak perempuan yang berusia seperti sepuluh tahun itu begitu nyaring. “Sebentar Kak, mau Bakwan Kawi yaa?” tanya Ara. Aku tersenyum. Ara ke depan rumah untuk memanggil pedagang Bakwan Kawi. Sudah hampir tiga minggu  Aku menjadi guru les Ara. Hubungan kami memang belum begitu akrab. Mengajari Ara untuk menyelesaikan berbagai tugas dari gurunya, cukup membuatku pusing untuk mencari metode yang tepat dalam menyampaikan materi. Padahal, Ara sudah duduk di kelas 1 SMA yang bisa dibilang cukup banyak peminat nya di sekolahan itu. Tapi seperti tidak berkembang karena Ara malas membaca. Jangankan satu buku selesai, satu bab pun belum terbaca semua.

Aku mengikuti Ara ke depan rumah. Selalu ada ketertarikan tersendiri di dalam hatiku untuk mengetahui segala sesuatu tentang Bakwan Kawi. Potonganya lumayan besar. Dagingnya yang berwarna merah muda cukup memberi dugaan bahwa isianya terbuat dari daging sapi yang berkualitas. Semakin membuatku ngiler yang berdiri disamping bapak yang sedang meraciknya.

Ara membeli tiga bungkus Bakwan Kawi. Ketika dia sudah masuk ke dalam rumah, aku membeli lagi dua bungkus Bakwan Kawi dengan kuah terpisah.

“Dua bungkus lagi mbak?” tanya bapak pedagang Bakwan Kawi dengan gurat senyum bahagia.

“Iyaa. Ini uangnya, kembaliannya bawa saja.” Aku memberikan uang selembar seratus ribu rupiah. Bapak pedagang Bakwan Kawi langsung memandangku dengan mata yang berbinar-binar. Tangannya gemetar. Lalu tersenyum. Dari sudut matanya seperti ada yang mau mengalir, tapi cepat diusapnya.

“Saya baru dapat bayaran mengajar les, Pak” kataku sambil tersenyum. “Semoga dagangan Bakwan Kawi nya laku keras ya Pak, salam buat keluarga.”

Bapak pedagang Bakwan Kawi itu mengangguk. “Terima kasih, Nak,” katanya hampir tidak terdengar.

Ketika Ara hendak keluar memanggilku, dia terkejut begitu tahu aku membeli lagi Bakwan Kawi.

“Kakak ingin membawanya pulang ke rumah. Sepertinya Bakwan Kawi ini sangat enak.” Kataku dengan cepat.

Ara mengangguk, kemudian tersenyum. Kami masuk lagi ke dalam rumah.

Kami makan Bakwan Kawi di mangkok berwarna kuning keemasan yang sudah disiapkan oleh Bibi sedari tadi, sambil ngobrol tentang apa saja. Setelah selesai makan, aku kemudian membantu Bibi membereskan peralatan makan yang tadi kami gunakan.

Membahas tugas dari gurunya terganggu lagi karena Ara menerima telepon dari Ibunya. Ibunya menyuruh membahas tugas di restoran saja sambil makan. Tapi aku memilih untuk pulang.

**

Bakwan Kawi paling enak di seluruh dunia, sepengetahuanku, adalah Bakwan Kawi buatan Nenek. Aku selalu terkenang bagaimana Nenek pergi untuk menggiling daging dengan sepeda onthelnya yang berkarat, kemudian menyiapakan bumbu-bumbu untuk membuat Bakwan Kawi. Sampai sekarang, usiaku dua puluh dua tahun, sudah lulus kuliah, jadi guru les, ketepatanku dalam meracik bumbu-bumbu masih kalah dibanding Nenek.

Saat usiaku sebelas tahun hampir setiap hari aku makan tahu. Aku tentu saja bosan. Tapi saat aku cemberut dan mengeluh dengan mengekspresikan kebosananku, Ibu memeluk dan mencium rambutku.

"Nasi putih dan tahu itu makanan terenak yang kita punya,” kata Ibu. “Kamu punya adik tiga orang. Kalau Runi bilang tahu itu enak, entah oseng tahu atau sekedar tahu goreng, adik-adikmu akan merasa enak. Tapi bila Runi bilang tidak enak dan membosankan, kasihan adik-adikmu.”

Saat itu aku mulai mengetahui perekonomian keluargaku tidak baik-baik saja. Ayahku adalah pedagang tahu keliling. Pukul tiga pagi beliau sudah bangun. Membaca buku, membereskan keperluan untuk berdagangnya, dan selepas subuh beliau berangkat. Kata Ibu, Ayah mengambil tahu di pabrik, lalu ke pasar, setelah agak siang Ayah pergi berkeliling ke rumah-rumah untuk menawarkan tahu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Ayah. Saat aku menginjak kelas satu SD, makanan selalu ada. Di meja makan, masakan Ibu selalu bermacam-macam. Ada sop ayam, ayam bumbu kuning, ikan goreng, dan juga cumi pedas. Di kulkas pun selalu ada frozen food yang siap disajikan bila aku bosan masakan Ibu.

Tapi kemudian berubah sedikit demi sedikit. Ibu semakin jarang memasak ayam bumbu kuning. Sop bikinan Ibu semakin hambar rasanya. Dan akhirnya hampir setiap hari hanya ada oseng tahu pedas. Di depan adik-adik, aku selalu mengatahan bahwa oseng tahu itu enak sekali. Dan Ibu menambahkan: “Kita itu harus bersyukur. Kita masih bisa makan nasi putih yang pulen dan oseng tahu pedas yang enak ini. Karena banyak saudara kita yang makannya hanya nasi bau apek.”

Adik-adikku, Tami, Sita dan Arin, makan nasi putih dan oseng tahu pedas dengan sangat lahap.

Ibu mungkin tahu aku tidak mengerti dengan perubahan yang terjadi. Aku hanya tahu Ayah berhenti bekerja. Makanya Ibu sering bercerita, “Ayahmu itu orang hebat. Ayah orang pintar. Lihat saja, koleksi buku-buku Ayah hampir memenuhi lemari,”

Tentu saja aku mempercayai cerita Ibu. Dulu, ketika masih bekerja, Ayah sering mengajakku ke toko buku yang ada pohon mangga. Aku bebas memilih buku yang aku inginkan. Tapi sering juga Ayah memilihkan buku-buku buat aku baca. Selesai membeli buku, aku sering duduk di bawah pohon mangga sambal menikmati Es Oyen yang di jual di depan toko buku tersebut. Kalau malam Ayah selalu mengajak membaca buku bergiliran. Adik-adikku, semuanya sebelum masuk sekolah sudah bisa membaca kata-kata yang pendek. Rasanya senang sekali hari-hariku di penuhi dengan kegembiraan.

“Tapi kenapa Ayah berhenti bekerja?” tanyaku saat Ibu mengajakku memasak Bakwan Kawi untuk pertama kali. Ibu berhenti saat menggiling dagingnya.

“Ayahmu itu orang hebat, berani menolak apa yang dianggapnya tidak baik." Kata ibu sambil memandangku.

"Ayah lebih memilih menjadi pedagang tahu. Lagi pula, berdagang tahu itu hebat, bisa berkeliling setiap hari.”

Aku tidak mengerti betul apa makna dari perkataan Ibu. Bukankah Ayah bekerja di kantor Balai Kota, dengan posisi yang bagus, yang pasti penghasilnya sangat lumayan. Tapi Ibu tidak menceritakan lebih jauh. Aku hanya merasakan keputusan Ayah itu membawa perubahan yang sangat besar terutama dalam perekonomian keluargaku.

**

Semenjak ibu memasak Bakwan Kawi, aku jadi semakin akrab dengan masakan tahu. Ketika Ayah mengalami kecelakaan. Motor yang biasa digunakan saat menjualkan tahu keliling itu terseret oleh mobil Civic yang ngebut pada saat subuh itu. Motor Ayah hancur. Aku, Ibu dan ketiga adikku, menangis saat Ayah dimakamkan.

Pengemudi Civic itu adalah anak seorang konglomerat di Jakarta. Keluarga mereka datang ke rumah, meminta maaf dan berjanji mau memberikan santunan kepada kami. Sehari setelah kedatangan keluarga penabrak itu, Ibu mengajak kami pindah tempat tinggal. Kami menempati rumah kecil yang berkamar satu dengan atap genting yang sudah berlumutan. “Sekarang, hidup kita tergantung kerja keras kita,” kata Ibu di depan aku dan adik-adikku. “Ayah mewarisi jiwa yang hebat, dan buku-buku yang banyak. Kita harus berterima kasih dengan memanfaatkannya apa yang sudah diwariskan oleh Ayah.

Maka setiap malam, Ibu dan aku bergiliran membacakan buku kepada adik-adik. Subuhnya Ibu bangun, menyiapkan daging yang sudah digiling pada malam hari kemudian meracik bumbu-bumbu untuk di jualkan pagi harinya. Pada jam istirahat Ibu ku menjualkan Bakwan Kawi di sekolahku, Aku pun ikut membatu Ibu melayani pembeli. Siangnya, saat Aku pulang sekolah, Ibu pasti sedang menyiapakan bahan-bahan untuk membuat Bakwan Kawi. Aku sering membantunya. Sore hari menjelang maghrib, Aku dan adik-adik membawa Bakwan Kawi untuk di jual pada teman-teman ditempat mengaji.

“Kalau Runi ingin sekolah terus, sampai tinggi, jadilah murid terpintar. Belajar yang sering, baca buku yang banyak, dan raihlah beasiswa,” kata Ibu. Itulah kalimat-kalimat Ibu yang memecutku untuk semangat belajar dan bekerja keras. Sambil berdagang Bakwan Kawi aku dan ketiga adikku menghapal surat-surat dalam Al-Qur’an, dan main tebak-tebakan soal pengetahuan umum. Kami memanfaatkan waktu luang tersebut dengan sebaik-baiknya.

Saat diwisuda aku menangis di pelukan Ibu. Adik-adikku pun ikut memeluk dan menangis. Tidak terasa, Dik Tami sudah kuliah semester akhir, Dik Sita dan Arin kelas XII SMK. Waktu itu, kami sudah biasa bangun pukul tiga pagi, membaca buku, membantu Ibu meracik bumbu-bumbu, dan berangkat sekolah atau kuliah. Aku dan adik-adikku selalu mendapat beasiswa untuk menjaga kelangsungan sekolah kami.

**

Begitulah ceritanya, mengapa Aku selalu terharu bila melihat pedagang Bakwan Kawi. Ada sesuatu yang menggebu-gebu di dalam hati ini, semangat yang membara. Tapi juga ada sesuatu yang membuatku terharu, karena bila diteruskan air mata ini pasti akan mengalir tidak berhenti.

Saat ini Aku sudah memulai karir baru. Sudah lulus kuliah, menjadi guru les, dan bersiap mendaftar pekerjaan di perkantoran yang dari dulu aku idam-idamkan. Penghasilan yang lebih dari cukup. Adik-adikku lebih cepat mandiri dengan berbagai bisnis kulinernya. Walaupun kami sudah berpenghasilan sendiri, Ibu masih tetap berjualan Bakwan Kawi. Ibu merekrut karyawan dari tetangga di sekitar. Penghasilannya, Ibu sisihkan sedikit untuk diberikan pada panti asuhan dan sisanya Ibu tabung untuk pergi berhaji. Sifat pekerja keras Ayah memang melekat di jiwa Ibu.

**

Sudah berjalan satu bulan lebih, Aku menjadi guru les nya Ara,  dan berpikir untuk mundur. Bukan karena bayarannya. Orang tua Ara sangat baik, sering kali memberikan hadiah untuk adik-adiku. Tapi karena Aranya sendiri yang malas dan belum mau bekerja keras.

Aku mulai mengumpulkan keberanian untuk meyampaikan maksud ku. Aku datang kerumahnya Ara, dan disambut oleh orang tuanya. Aku mulai berbicara, dan menyampaikan maksudku. Selesai menyampaikan, Ara yang mendengar hal itu, langsung memeluku.

Aku hanya berpesan pada Ara agar jangan malas membaca, karena semua hal bisa kita ketahui dengan membaca. Setelah itu Aku berpamitan pada orang tua Ara dan pergi dari rumahnya.

Yogyakarta, 25 November 2022

Diberdayakan oleh Blogger.
close