Secara bahasa, corak dalam bahasa Arab berasal dari kata alwan yang merupakan bentuk jama' dari kata launun yang berarti warna, sehingga alwan berarti warna - warna. Merujuk pada Lisan al - Arab, Ibnu Manzur mengatakan bahwa, warna setiap sesuatu merupakan pembeda antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Jika disandarkan kepada orang seperti fulan mutalawwin berarti si Fulan tersebut memiliki karakter yang berubah - rubah.[1]
Adapun jika disandarkan pada tafsir al - Qur'an, maka yang dimaksud corak tafsir al - Qur'an adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai dan mendominasi penafsiran al - Qur'an. Yang dimana corak tafsir al - Qur'an ini diartikan juga sebagai kecenderungan pemikiran atau ide tertentu seorang penafsir ketika menjelaskan maksud - maksud ayat al - Qur'an.
Dalam tafsir al - Qur'an tidak bisa dipungkiri bahwa ada suatu tafsir yang memiliki beberapa kecenderungan. Seperti tafsir al - Kashshaf karya Zamakhshari yang memiliki dua kecenderungan yaitu cenderung tafsir I'tiqadi dan tafsir Adabi. Sehingga, untuk menentukan corak tafsir tersebut ditinjau dari kecenderungan mana yang lebih mendominasi Zamakhshari ketika menafsirkan al - Qur'an.
Dalam tafsir al - Qur'an terdapat beberapa corak tafsir, diantaranya, corak tafsir fiqhi, corak tafsir falsafi, corak tafsir ilmi, corak tafsir tarbawi, corak tafsir adabi/akhlaqi, corak tafsir i'tiqadi dan corak tafsir sufi.
1. Corak Tafsir Fiqhi
Corak tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang memiliki kecenderungan untuk mencari hukum - hukum fiqih didalam ayat - ayat al - Qur'an. Diantara karya - karya mufassir yang memiliki kecenderungan tafsir fiqhi adalah :
1. Ahkam al - Qur'an karya al - Jassas (305 - 370 H/917 - 980 M) yang memiliki corak tafsir fiqih madzhab Hanafi.
2. Tafsir al - Kabir atau Mafatih al - Ghaib karya Fakhruddin al - Razi yang memiliki corak tafsir fiqih madzhab Syafi'i.
3. Al - Jami' li Ahkam al - Qur'an karya Abu Abdullah al - Qurthubi (w. 671 H/1272 M) yang memiliki corak tafsir fiqih madzhab Maliki.
Contoh corak tafsir fiqhi adalah tafsir Imam al - Qurthubi terhadap Q.S Al - Baqarah ayat 187 :
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ
Artinya : "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa dengan istri - istri kalian."
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam al - Qurthubi mencari hukum - hukum fiqih yang ada didalamnya. Baik itu hukum yang tersurat jelas didalam ayat atau hukum yang tersirat yang beliau gali ketika menjelaskan ayat. Salah satu hukum fiqih yang digali ketika menafsirkan ayat ini adalah tentang seorang muslim yang makan di siang hari di bulan ramadhan karena lupa. Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapat sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, “Jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadhanya,”.
2. Corak Tafsir Ilmi
Corak tafsir ilmi adalah kecenderungan penggunaan pendekatan ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dimiliki mufassir ketika menafsirkan ayat - ayat Al - Qur'an. Salah satu contoh karya tafsir yang memiliki corak tafsir ilmi adalah al - Jawahir fi Tafsir al - Qur'an al - Karim karya Thanthawi Jauhari.
Contoh penafsiran dari corak tafsir ilmi adalah tafsir Q.S Al - Baqarah ayat 61 :
وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نَّصْبِرَ عَلٰى طَعَامٍ وَّاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ مِنْۢ بَقْلِهَا وَقِثَّاۤىِٕهَا وَفُوْمِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۗ قَالَ اَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِيْ هُوَ اَدْنٰى بِالَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ
Artinya : "Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah.” Dia (Musa) menjawab, “Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik?"
Thanthawi Jauhari (w. 1940 M) dalam tafsirnya memberikan komentar terhadap ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan, yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan yang tanpa efek samping) dengan kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.[2]
3. Corak Tafsir Filsafat
Corak tafsir filsafat adalah kecenderungan penafsiran ayat - ayat al - Qur'an dengan menggunakan keilmuan/teori - teori filsafat. Adapun tafsir filsafat atau falsafi menurut al - Dzahabi adalah menafsirkan ayat - ayat al - Qur'an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bil ra'yi.[3] Salah satu contoh karya yang cenderung bercorak tafsir falsafi adalah Fusus al - Hikam karya al - Farabi.
Contoh ayat yang ditafsirkan secara falsafi adalah Q.S Al - Hadid ayat 3 :
هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya : "Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
Dalam tafsirnya al - Farabi mengatakan bahwa tidak ada keberadaan yang paling sempurna dibanding keberadaannya (Allah Swt.). Tidak ada yang tersembunyi dari kekurangan sesuatu yang ada, dalam keberadaan dzatnya dia zhahir (tampak), dan sebab ke-zhahiran - nya dia tidak tampak (batin), dengannya tampaklah semua yang tampak, seperti matahari yang bisa menampakkan semua yang tersembunyi, dan menyembunyikannya bukan karena tersembunyi.[4]
4. Corak Tafsir Tarbawi
Corak tafsir tarbawi adalah kecenderungan ide atau pemikiran pendidikan penafsir ketika menjelaskan maksud - maksud ayat al - Qur'an. Sehingga yang menjadi fokus dari corak tafsir tarbawi adalah sistem pengajaran atau pendidikan yang ada dalam al - Qur'an. Salah satu karya mufassir yang memiliki kecenderungan corak tafsir ini adalah tafsir al - Qur'an al - Azhim karya Ibnu Katsir.
Contoh ayat al -Qur'an yang ditafsirkan dengan corak tafsir tarbawi ini adalah Q.S Luqman Ayat 13 :
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Artinya : "Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Dalam ayat ini, Luqman berpesan kepada anaknya yang bernama Tharan agar supay tidak menyekutukan Allah, karena menyekutukan Allah termasuk kezhaliman yang besar. Hal ini menurut Ibnu Katsir bisa dimaklumi mengingat orang tua merupakan orang yang paling sayang terhadap anaknya, maka pantas jika ia memberikan yang terbaik untuk anaknya, dan pelajaran pertama yang diberikan oleh Luqman adalah ajaran ketauhidan dan peringatan agar menjauhi dari berbuat zhalim kepada Allah, yaitu dengan cara menyekutukan-Nya.[5]
5. Corak Tafsir I'tiqadi
Corak tafsir i'tiqadi adalah corak penafsiran yang kecenderungan tafsirnya fokus pada pembahasan akidah atau keyakinan. Salah satu contoh kitab tafsir bercorak i'tiqadi adalah al - Kasysyaf karya al - Zamakhshari. Perlu diketahui bahwa al - Zamakhshari ini ketika menafsirkan cenderung pada pemikiran atau pemahaman mu'tazilah.
Contoh ayat yang ditafsirkan bercorak tafsir i'tiqadi adalah Q.S Al - Baqarah ayat 7 :
خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Artinya : "Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat."
Kata khatama, menurut Zamakhshari sama dengan kata katama dan kata ghishawah sepadan dengan pengertian githa’. Zamakhshari kemudian menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran bahwa Allah tidak menutup dan mengunci mati hati, pendengaran, dan penglihatan mereka secara hakiki, firman Allah diatas bermakna majazi yang jika ditilik dari segi ilmu balaghah, mengandung dua kemungkinan, yaitu : bisa dalam bentuk isti’arah, dan bisa juga dalam bentuk tamthi.[6]
6. Corak Tafsir Tasawuf/Sufi
Corak tafsir sufi adalah kencenderungan penafsir ketika menafsirkan ayat - ayat dengan berlandasan ketasawufan. Contoh tafsir yang memiliki kecenderungan tasawuf adalah kitab al - Futuhat al - Makkiyah karya ibnu Arabi.
Contoh tafsiran bercorak tafsir tasawuf adalah tafsir Q.S Al - Baqarah ayat 115 :
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya : "Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui."
Ibnu ‘Arabi dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini maksudnya merupakan hakikat, wajhullah ada di setiap arah dimanapun setiap orang menghadapnya, namun jika ada orang salat menghadap pada selain Kakbah sedangkan dia tahu arah kiblat, maka salatnya batal, sebab ibadah yang khusus ini tidak disyariatkan kecuali dengan menghadap pada kiblat yang juga khusus seperti ini, apabila dia dalam ibadah yang tidak membutuhkan penentuan seperti ini, maka Allah menerima cara menghadap orang tersebut.[7]
Referensi :